PUBLISHED ON TUE JUN 20 2023

Review Buku Maybe You Should Talk To Someone

Review Buku Maybe You Should Talk To Someone
For many people, going into the depths of their thoughts and feelings is like going into a dark alley—they don’t want to go there alone. People come to therapy to have somebody to go there with

Di malam Kamis tanggal 1 Juni 2023, saya merayakan hari libur dengan duduk di Starbucks sendirian dan segelas greentea latte berukuran venti (yang saya dapatkan dengan menukar kupon diskon 50%). Saya melihat sekitar, barangkali memastikan bahwa tidak ada yang melihat, dan dari dalam tas saya mengeluarkan buku tebal berwarna kuning dengan judul yang saya pikir aneh tapi juga unik: Semua Orang Butuh Curhat (yang notabene merupakan terjemahan dari judul asli Maybe You Should Talk To Someone). Buku ini sudah berdebu di rak buku saya sejak awal tahun 2021, menunggu-nunggu untuk dibaca. Sampai pada awal tahun saya kembali menotis buku ini, dan membuat janji ke diri sendiri untuk menyelesaikan buku ini sebelum 2023 berakhir.

Ajaibnya, dua jam kemudian, saya sudah membaca 50 halaman dari buku ini dan saya tahu buku ini bakal jadi salah satu buku terbaik yang saya baca tahun ini.

Hari-hari berikutnya saya semakin ditarik ke dalam buku ini, rasanya ada dorongan yang kuat untuk membaca lembar demi lembar. Dan dimanapun saya berada—di bus, kereta, stasiun, atau bahkan di jeda waktu istirahat makan siang—buku ini memanggil-manggil, mengundang saya untuk terus membaca chapter demi chapter.

Empat Pasien Lori Gottlieb

Maybe You Should Talk To Someone bercerita tentang kehiupan Lori Gottlieb sebagai seorang psikiater di Los Angeles. Ada 4 pasien yang menjadi highlight dalam buku ini, masing-masing pasien memiliki masalah yang berbeda.

  1. John, seorang produser Hollywood yang memiliki masalah relasi dengan istrinya. Dia juga memiliki masalah dengan kemarahannya dan menganggap semua orang di sekitarnya “tolol”
  2. Charlotte, seorang remaja yang kecanduan alkohol selalu berada dalam hubungan yang toksik
  3. Julie, seorang istri yang baru menikah dan mendapati dirinya terkena kanker pada saat bulan madu
  4. Rita, seorang anita lansia yang sudah bercerai 3x dan akan memutuskan untuk mengakhiri hiupnya di umur ke-70 kalau hidupnya tidak mengalami perubahan.

Yang paling saya suka dari buku ini adalah bagaimana Lori mengupas kisah pasien, satu per satu (di bagian awal buku kita diperkenalkan dengan John, lalu Julie, di pertengahan ada Charlotte dan Rita). Masing-masing cerita pasien ditebar dari awal sampai akhir buku, yang membuat buku ini searasa seperti buku fiksi (Bahkan saya merasa buku ini jadi novel yang diambil dari 5 sudut pandang tokoh utama, tambahan satu POV dari Gottlieb sendiri).

Masing-masing pasien berurusan dengan emosi yang berbea-beda, masa lalu yang berbeda-beda pula. Ini yang membuat saya sebagai pembaca merasa setiap pasien memiliki pelajaran yang berbeda-beda buat saya.

  1. Dari kisah John Gottlieb mengungkapkan bagaimana orang yang kita lihat hanyalah snapshot dari gambaran hidupnya yang keseluruhan. Ada aspek-aspek hidup orang lain yang tidak kita pernah tahu, oleh sebab itu penting untuk memiliki empati dan compassion.
  2. Dari kisah Charlotte, Gottlieb mengungkapkan bahwa kita punya tendensi untuk menciptakan trauma-trauma yang pernah kita alami di masa depan. Charlotte tidak pernah punya hubungan yang baik dengan orang tuanya, sehingga secara tidak sadar dia sudah terbiasa dengan hubungan yang tidak sehat tersebut. Ini yang membuat dia terus menemui orang-orang yang salah, sambil berharap, “kali ini saya bisa mengubah dirinya dan keadaan” padahal nyatanya tidak.
  3. Untuk Julie, sebenarnya ceritanyalah yang paling membuat saya tersentuh. Gottlieb banyak bercerita tentang filosofi hidup dan kematian, bagaimana orang memiliki ilusi baha seakan-akan mereka akan hidup abadi di dunia ini.
  4. Dan Rita, anita tua yang merasa semuanya sudah terlambat untuk membuat perubahan dalam hidup, tapi nyatanya tdak. Tidak ada kata terlambat untuk mengubah alur hidup kita.
If you expect an hour of sympathetic head-nodding, you’ve come to the wrong place. Therapists will be supportive, but our support is for your growth, not for your low opinion of your partner. (Our role is to understand your perspective but not necessarily to endorse it.) In therapy, you’ll be asked to be both accountable and vulnerable. Rather than steering people straight to the heart of the problem, we nudge them to arrive there on their own, because the most powerful truths—the ones people take the most seriously—are those they come to, little by little, on their own … some discomfort is unavoidable for the process to be effective.

Narasi yang “Bengkok” dalam Cerita-Cerita Kita

Di dalam buku, Lori menjelaskan bahwa kita membuat narasi-narasi yang keliru akan diri kita. Ini tidak sepenuhnya salah kita, karena sebagai seorang manusia, kita tidak akan pernah bisa lepas dari yang namanya bias. Contohnya, ketika Lori memutuskan untuk pergi ke psikolognya, Wendell karena sehabis putus dengan pacarnya, Lori sadar bahwa ada detail-detail kecil dalam cerita yang terlewat olehnya, atau yangsecara tidak sadar dan tidak sengaja dia tidak ingin lihat.

Ketika kita menceritakan masalah kita ke teman, keluarga atau kerabat dekat, kita punya tendensi untuk menceritakan narasi yang mendukung niat kita (misalnya untuk menyalahkan sang mantan bahwa dia adalah orang yang brengsek, atau bahwa hidup berlaku sangat kejam kepada kita sehingga kita yang menjadi victim). Tapi, teman yang kita ajak bicara juga memiliki biasnya sendiri akan kita, mereka bisa saja mendukung narasi kita, atau malah meng-invalidasi perasan kita yang membuat kita jadi malas untuk curhat dengan orang lain.

Di sinilah peran terapis. Terapis mengajak kita untuk mengedit narasi yang kita bangun untuk diri sendiri. Kita berbicara dengan orang asing (yang sudah terlatih di bidang terapi, pastinya) yang bisa melihat cerita kita dari kacamata yang lebih objektif, dan membantu kita untuk meluruskan narasi-narasi “bengkok” yang sudah kita bangun. Terapis mengajak kita untuk mengedit narasi yang kita bangun untuk diri sendiri.

Pertanyaan lain muncul, “kenapa kita harus meluruskan narasi bias yang suah kita bangun untuk diri sendiri?” Karena dengan meluruskan dan mengobjektifikasi narasi kita, kita bisa jadi lebih mengenal diri dan melihat akar masalah utama dari masalah awal yang membuat kita datang ke terapi.

The information the patient presents to you is distorted through a particular lens; that the presentation of the information will change over time as it becomes less distorted; that the dilemma may even be about something entirely different that has yet to be uncovered; that the patient is sometimes gunning for you to support a particular choice and this will become more clear as your (patient and therapist) relationship develops…

Cermin dalam Terapi

What makes therapy challenging is that it requires people to see themselves in ways they normally choose not to. A therapist will hold up the mirror in the most compassionate way possible, but it’s up to the patient to take a good look at that reflection, to stare back at it and say, “Oh, isn’t that interesting! Now what?” instead of turning away

Salah satu poin penting dan yang cukup membekas buat saya adalah bagaimana terapi itu sendiri bekerja. Dari awal buku Gottlieb menekankan bahwa banyak orang yang datang ke terapi untuk menyelesaikan masalah atau ingin mengubah hidup mereka. Sang terapis bisa saja memberikan saran atau opsi untuk sang pasien bisa pertimbangkan. Namun, yang mengambil keputusan tersebut adalah pasien itu sendiri.

Ada satu metafora yang saya sangat suka dari penjelasan Gottlieb soal terapi. Dia bilang bahwa terapi itu seperti kita bercermin dan memandang diri kita sendiri. Bukan untuk mempercantik diri, tapi untuk melihat bagian-bagian dari hidup kita yang selama ini tidak ingin kita lihat, kita sembunyikan.

Terapi adalah seperti melihat ke dalam cermin untuk menatap seluruh aspek dalam hidup kita. Kita akan dituntun untuk membuka luka lama yang membuat emosi-emosi yang tidak mengenakkan keluar. Hanya melewati inilah kita dapat merasakan perubahan dalam hidup kita.

Pengalaman Baca Maybe You Should Talk To Someone

Semua Orang Butuh Curhat berhasil meleburkan garis-garis pembatas fiksi dan nonfiksi. Rasanya baca buku ini seperti baca novel, walaupun sebenarnya konten yang ditulis adalah kisah-kisah nyata. Lori Gottlieb sangat pandai mengemas ceritanya sebagai terapis dan empat pasiennya dengan gaya penulisan yang naratif. Bahkan saya merasa mereka berlimalah yang menjadi tokoh utama di dalam buku fiksi-nonfiksi ini.

Masing-masing cerita tokoh disebar dengan rapih dari awal, pertengahan, hingga akhir. Perkembangan setiap tokoh dijelaskan dengan sangat mulus di sepanjang buku. Bahkan John dan Rita adalah tokoh yang membuat saya sangat tersentuh.

Buku ini sangat saya rekomendasikan untuk kamu yang ingin tahu soal terapi dan bagaimana terapi bekerja, apalagi bila kamu memiliki masalah yang menganggu hari-harimu dan kamu pikir masalah ini perlu didiskusikan secara objektif dengan orang yang berpengalaman.

Buku ini juga sangat ringan untuk dibaca. Meskipun buku terjemahan Bahasa Indonesia nya memiliki 600 halaman, buku ini bisa saya habiskan dalam waktu kurang dari 2 minggu (dengan segala kesibukan yang saya miliki juga).

Akhir kata, saya tidak ragu untuk memberikan buku ini 5/5 bintang dan jadi nominasi buku terbaik yang saya baca tahun ini.