PUBLISHED ON WED JUN 19 2024

The Defining Decade: Tentang Periode Terpenting dalam Hidup, Dilema Orang Usia 20-an dan Cara Menyikapinya

The Defining Decade: Tentang Periode Terpenting dalam Hidup, Dilema Orang Usia 20-an dan Cara Menyikapinya

Saya sangat beruntung sekali menemukan buku ini di tengah-tengah koleksi Kindle Daily Deals pada bulan Mei kemarin. Tanpa pikir panjang, saya langsung beli buku ini. Buku ini lumayan jadi incaran saya karena saya sangat tertrik dengan topik yang dibahas dalam buku ini, apalagi sebagai seorang yang sedang menuju usia pertengahan 20-an.

Tekanan Orang Usia 20-an

Salah satu jargon yang cukup terkenal di kalangan orang usia 20-an (twentysomethings) adalah “bersenang-senang mumpung masih muda”. Padahal, lewat buku ini Jay menjelaskan bahwa ketika kita mencapai usia 35 tahun, artinya kita sudah membentuk 85% dari hidup kita. Artinya, lewat dari usia tersebut, sisa hidup kita ditentukan dari keputusan-keputusan yang kita sudah buat di usia 20-an. Ini yang membuat sangat penting untuk kita sadar bahwa usia 20-an adalah dekade yang menentukan hidup kita.

Sementara itu, orang pada rentang usia itu sedang berada di masa krisis yang pentuh kebingungan karena kebanyakan dari kita baru lulus kuliah dan berada di transisi dari hidup yang penuh dengan aturan dan urutan yang jelas (semester demi semester) menuju hidup yang tidak ada aturannya sama sekali. Pada usia tersebut, seseorang mulai masuk ke dalam aspek ketidakpastian dalam hidup.

Jadi, apa yang harusnya kita lakukan? Meskipun banyak dari twentysomethings yang sudah paham betul betapa krusialnya dekade ini, tapi mereka tetap kebingungan akan apa yang harus mereka lakukan. Lewat buku ini, Meg Jay membahas topik besar yang digalaukan oleh orang-orang usia 20-an:

  1. Karrier, banyak dari kita sering merasa hilang arah hidup dalam menentukan arah karrier yang ingin diambil.
  2. Cinta dan Relasi, kita sering menunda untuk menjalani hubungan yang serius dan kekhawatiran akan pernikahan.
  3. Otak dan Tubuh, di usia ini otak kita banyak mengalami perkembangan jadi penting sekali untuk melatih otak untuk mencari pengalaman dan belajar sebanyak-banyaknya.

Inti dari buku ini bukanlah memberikan jawaban atau petunjuk akan apa yang harus kita lakukan, tapi buku ini mengajak kita untuk mengajukan pertanyaan ke diri kita sendiri—pertanyaan yang tepat—dan belajar untuk mendengarkan diri sendiri. Selain itu, tentunya, ada beberapa tips dari Jay yang disematkan dalam buku ini juga.

Hal yang saya suka dari buku ini adalah Jay banyak berbicara dari pengalaman karena dia banyak menangani klien yang berusia 20-an, kita akan banyak mendengar kisah-kisah dari klien tersebut dan apa yang bisa kita ambil dari pengalaman mereka.

Karrier

Perbanyak Capital Gain

Twentysomethings who take the time to explore and also have the nerve to make commitments along the way construct stronger identities.

Umur 20-an adalah waktu yang paling ideal untuk meningkatkan capital gain (atau yang sering kita sebut sebagai skill atau aset personal). Kenapa memperbanyak skill penting di usia 20-an? Karena skill menunjukkan bagaimana cara kita menambah nilai (value) kita. Lewat buku ini Jay menjelaskan bahwa skill adalah nilai tukar untuk kita mendapat pekerjaan.

Workers in the study did not earn their highest salaries in their twenties, of course, but their earning power was largely decided in those first ten years of work. How? Because those steep learning curves that often go along with twentysomething work then translate into steep earning curves as we age. What this means is that your twenties are the time for that cross-country job or that graduate degree or that start-up you want to try.

Banyak orang usia 20-an mengeluhkan krisis identitas personal ini. Solusi untuk keluar dari krisis ini adalah dengan mengeksplor hal-hal baru.

The one thing I have learned is that you can’t think your way through life. The only way to figure out what to do is to do—something.

Pentingnya Berkoneksi

Lewat pengalaman yang dialami oleh Jay sendiri atau lewat klien-kliennya, Jay menunjukkan bahwa justru bantuan dari orang-orang asinglah yang justru mengubah hidup kita seluruhnya.

Jay memperkenalkan konsep weak ties, yaitu orang-orang yang tidak begitu dekat secara personal, barangkali bahkan hanya sekadar kenalan, mantan atasan kita di kantor, mantan kolega, atau teman dari teman kita.

Weak ties, on the other hand, feel too different from us—or literally too far away from us—to be close friends. But that’s the point. That’s their strength. Because they’re not just figures in an already ingrown cluster, weak ties give us access to something fresh. New jobs, new information, new apartments, new opportunities, new ideas, and even new people to date almost always come from outside the inner circle. That’s because weak ties know things and people that we don’t know. They have perspectives we may not have considered.

Di usia 20-an kita tidak bisa mengandalkan orang-orang terdekat kita karena orang-orang tersebut cenderung akan mendukung kita, tapi mereka tidak serta-merta membuat kita bertumbuh, atau memiliki kemampuan untuk membantu kita, apalagi soal karrier.

Jay berpendapat bahwa di usia 20-an kita seharusnya memperbanyak koneksi, karena kita tidak pernah tahu apakah kenalan kitalah yang akan membantu kita di masa-masa krisis dan yang akan mengubah hidup kita seluruhnya. Contohnya banyak orang yang mendapatkan pekerjaan dengan mengirimkan cold email untuk referal dari kenalannya.

Pertanyaan muncul, kenapa orang yang tidak begitu kita kenal dan dekat mau menolong kita? Jawaban mudahnya adalah karena berbuat baik atau menolong orang lain membuat kita merasa lebih baik dan bahagia.

Namun, ada satu aturan ketika meminta tolong kepada weak ties: minta tolonglah tanpa harus merepotkan mereka. Jangan membuat mereka harus meluangkan banyak waktu untuk menolong kita. Contohnya meminta sesuatu yang membuat mereka harus menulis berparagraf email. Sebaliknya, minta tolonglah yang tidak memberatkan dari sisi orang itu, seperti minta izin untuk menyertakan nama mereka di resume kita.

The finding that when we do something nice for someone we tend to like that person even more afterward—and this may lead to another favor down the line. This phenomenon is called “the Ben Franklin effect.”
… however, many twentysomethings have limited themselves to huddling together with the same few people. This is a problem because, while the urban tribe may be the most supportive figures in our twenties, they are not the most transformative. The urban tribe may bring us soup when we are sick, but it is the people we hardly know—those who never make it into our tribe—who will swiftly and dramatically change our lives for the better … Most twentysomethings yearn for a feeling of community, and they cling to their strong ties to feel more connected.

Intinya adalah jangan limitasi diri kita dengan orang-orang terdekat di sekitar kita, tapi perluaskan koneksi kita.

Cinta dan Relasi

… that whom you marry is the most important decision you’ll ever make. Partnering with someone is an enormous commitment, and it is one that many people would like to make only once ... Almost every aspect of your life will be joined with almost every aspect of your partner’s life. And let’s face it, if things don’t work out, a marriage cannot just be left off a résumé like a failed job. Even as a divorced—or uncoupled—couple, you may be forever tied, financially and logistically, as you pay for schools and meet every other weekend in the driveway to exchange the kids.

Menunda tidak sama dengan Melakukan Lebih Baik

Topik percintaan dan pernikahan rasanya sangat menakutkan untuk orrang-orang usia 20-an. Saya sendiri juga berusaha menghindari topik ini sebisa mungkin. Ada beberapa aalasan kenapa mereka menghindari topik ini, pertama karena merasa masih muda dan masih ingin bersenang-senang, sebagian dari mereka bahkan melakukan dating down dibanding menjalin hubungan serius.

Kedua, mereka berpikir semakin menunda untuk memikirkan percintaan, mereka akan lebih baik dalam percintaan kedepannya. Mereka akan menjadi lebih dewasa seiring dengan bertambahnya umur, sehingga mereka menunda-nunda untuk melakukan hubungan yang serius.

So while we hear a lot about twentysomethings who just want to have fun before settling down, many are also waiting to commit in hopes of having better outcomes than their parents. Yet, one of the key messages of this book is that doing something later is not necessarily the same as doing something better.
The most recent studies show that marrying later than the teen years does indeed protect against divorce, but this only holds true until about age twenty-five. After twenty-five, one’s age at marriage does not predict divorce … Older spouses may be more mature, but later marriage has its own challenges. Here are a few. Having a series of low-commitment, possibly destructive relationships in our twenties and thirties can create bad habits and erode faith in love.

Padahal menunda melakukan sesuatu tidak berarti bakal melakukannya dengan lebih baik kedepannya. Kebanyakan orang usia 20-an menunda-nunda untuk mencari pasangan yang baik, sehingga di umur 30-an kebanyakan bakal bingung. Ditambah lagi ada “the thirty deadline” yang dirasakan oleh orang muda, dimana mereka tidak ingin hidup sendiri sampai umur 30-an dan tidak banyak yang mengambil pasangan berdasarkan orang yang dekat dengan mereka tanpa pertimbangan yang matang.

Fakta tentang Kumpul Kebo

Fenomena ini sebenarnya cukup trending di Amerika dan Jay mengkritik pemahaman bahwa kumpul kebo (cohabitant) dapat menjadi tes apakah cocok mereka untuk pernikahan. Tapi nyatanya, keputusan untuk tinggal bersama sebelum menikah diambil secara terburu-buru, kebanyakan ketika pasangan masih berada di dalam “honeymoon phase” dan tidak mengambil keputusan tersebut secara sadar penuh.

Nyatanya kesuksesan dalam hubungan yang serius atau bahkan pernikahan bukan terletak pada apakah kalian hidup bersama, tapi bagaimana cara kalian hidup bersama. Orang-orang umur 20-an berpikir bahwa dengan hidup bersama, hubungan mereka akan langgeng. Tapi yang tidak diperhitungkan adalah hidup bersama tidak terdengar seindah itu, ada tagihan tempat tinggal yang harus dibayar, mengurus tempat tinggal, belum lagi listrik atau mengurus urusan rumah tangga.

Salah satu tes yang cukup bisa dipakai untuk mengetes suatu hubungan, Jay menjelaskan di bagian lain pada buku ini, adalah dengan traveling bersama. Dengan traveling, kita bisa merasa bahagia ketika berjalan ke tempat baru bersama pasangan tapi juga ada tantangannya, seperti budget yang terbatas, pergi ke tempat yang benar-benar asing buat kita dan di sinilah kita bisa melihat bagaimana reaksi kita dan pasangan ketika berada di dalam stress.

Mencari Persamaan

Kita sering mendengar terminologi opposite attract, dimana kita akan cenderung tertarik dengan orang yang sepenuhnya berbeda dengan kita. Tapi nyatanya dalam pernikahan hal ini tidak sepenuhnya benar. Salah satu kesuksesan dalam pernikahan atau hubungan jangka panjang adalah menemukan orang-orang yang mirip dengan kita.

Pasti memang sulit menemukan orang yang 100% cocok dengan kita, tapi semakin mirip kita dengan pasangan kita hubungan kita akan semakin langgeng.

Otak dan Tubuh

Elastisitas Otak di Usia 20-an

Di bagian ini Jay banyak bercerita tentang perkembangan otak. Otak kita dapat dikategorikan menjadi dua bagian besar, bagian primitif dan bagian yang lebih baru atau modern. Bagian otak primitif berfungsi untuk menciptakan emosi, pengatur napas secara otonom, menciptyakan rasa lapar, dan seks. Bagian otak ini sudah ada dari zaman nenek moyang kita dulu.

Bagian otak yang lebih modern adalah, seperti yang saya baca di buku-buku serupa yang membahas otak dan psikologi, adalah prefrontal korteks yang mengatur logika, bahasa, cara komunikasi, dan kemampuan untuk belajar bahasa.

Di usia 20-an, bagian otak modern ini sedang berada dalam pertumbuhan masif. Sehingga, banyak orang di usia tersebut yang bertindak ceroboh, sangat buruk dalam mengambil keputudsan, atau tidak berpikir bijak karena otak yang mengatur itu semua masih dalam perkembangan.

The oldest parts of the brain—the ones also present in our ancient ancestors and animal cousins—develop first, at the base of the brain near the spine. They control breathing, senses, emotions, sex, pleasure, sleep, hunger, and thirst—or the “animal propensities” ... The most forward part of the brain—literally and figuratively—is the frontal lobe, located just behind the forehead.

Masalahnya, orang usia 20-an berada di transisi antara masa sekolah (atau kuliah) dengan kehidupan dewasa yang sebenarnya. Sewaktu sekolah dulu, kita bisa saja dibilang pintar ketika mamou mengerjakan soal kalkulus dengan kerumutan level 10 dan mendapat nilai sempurna untuk soal-soal yang bisa kita pecahkan.

Namun, pintar tidak sama dengan bijak. Di bangku sekolah, kita diperhadapkan dengan masalah-masalah konkret yang memiliki solusi absolut. Kerjakan soal ini dengan cara ini, maka kamu dipastikan dapat nilai bagus! Begitu kita lulus, kita diperhadapkan dengan masalah-masalah abstrak dan tidak ada jawaban yang benar atau salah. Masing-masing solusi memiliki konsekuensinya. Di sinilah kebijakan sebagai manusia dewasa diperlukan, yang masih belum dimiliki oleh orang di usia 20-an karena prefontal korteks yang masih berkembang.

we now know that the frontal lobe does not finish wiring up until sometime between the ages of twenty and thirty. What this means is that, in our twenties, the quick, hot, impulsive, pleasure-seeking, emotional brain is ready to go, while the slow, cool, rational, forward-thinking frontal lobe is still a work in progress.

Namun, justru ini yang membuat orang di usia itu berada di masa keemasannya. Karena bagian otak yang memproses logika ini masih dalam tahap pertumbuhan masif, Jay menyarankan bahwa pada usia ini seharusnya kita banyak belajar dan memperoleh skills. Ini sebenarnya berkaitan dengan poin pertama tadi, bahwa twentysomethings seharusnya lebih banyak mengambil capital gain.

Otak kita berkembang dengan merespons lingkungan di sekitarnya dan dari pengalaman. Oleh karena itu, penting untuk kita untuk terus mencari pengalaman, mengembangkan capital gain, dan belajar sebanyak-banyaknya.

Jay juga menekankan bahwa karena pada masa ini otak kita sangat “elastis”, maka dari itu bila kita ingin mengubah sesuatu dari dalam diri kita, masa di usia 20-an ini adalah masa yang paling tepat.

The post-twentysomething brain is still plastic, of course, but the opportunity is that never again in our lifetime will the brain offer up countless new connections and see what we make of them. Never again will we be so quick to learn new things. Never again will it be so easy to become the people we hope to be. So whatever it is we want to change about ourselves, our twenties are the easiest time to change it. The risk is that we may not act now.

Meregulasi Emosi

Jay mengangkat isu yang digadang-gadang menjadi ciri khas gen-z oleh warganet saat-saat ini: bahwa gen-z dan anak-anak muda suka menggonta-ganti pekerjaan. Padhaal karakteristik ini bukan sesuatu yang spesial untuk generasi tertentu saja, tapi kebanyakan dari orang usia 20-an lintas generasi memiliki karakteristik yang sama.

Jay menjelaskan bahwa orang muda banyak menggonta-ganti pekerjaan karena mereka belum bisa meregulasi perasaannya terhadap pekerjaan. Lewat salah satu klien yang dia tangani, dia menarik benang merah bahwa orang muda yang berpindah-pindah pekerjaan karena merasa tidak cocok dengan lingkungan pekerjaan, kolega atau atasan. Walaupun pada kadar tertentu opsi pindah pekerjaan merupakan keputusan yang justru bagus, tapi terlalu sering berpindah-pindah pekerjaan menjadi masalah.

Jay menyarankan untuk kita melatih interpretasi kita terhadap suatu kejadian yang dialami dan menentukan bagaimana cara kita merespons terhadap kejadian tersebut. Ini merupakan salah satu cara kita meregulasi emosi.

Emosi dan perasaan memang tidak bisa dikontrol, kita tidak bisa menentukan kapan kita harus seding, senang atau marah. Namun, cara kita melihat suatu kejadian dan cara kita merespons masih dalam kendali kita. Ini yang harus orang usia 20-an latih sehingga bisa menjadi less reactive dan menjadi lebih kalem.

Research shows that people who have at least some control over their emotions report greater life satisfaction, optimism, purpose, and better relationships with others.

Tentang Kepercayaan Diri

A fixed mindset is a form of black-and-white thinking in which we imagine that abilities and qualities—such as intelligence or athletic ability or social skills or confidence—are attributes we are born with or are gifts that just “are what they are.”

Jay menekankan bahwa banyak orang yang percaya bahwa kepercayaan diri adalah satu bakat yang dibawa sejak lahir. Ini sepenuhnya salah. Di sini, Jay mengangkat tema yang sudah tidak asing buat kita: fixed dan growth mindset. Memercayai bahwa suatu kemampuan bisa diasah dan dipelajari adalah salah satu bentuk growth mindset. Termasuk untuk kepercayaan diri.

Ini berarti bahwa kepercayaan diri tidak muncul dari dalam lalu keluar, tapi dari luar ke dalam (outside in, not inside out). Artinya untuk menjadi percaya diri, kita tidak bisa menunggu sampai kita merasa percaya diri baru melakukan hal yang kita takutkan.

Justru kepercayaan diri muncul seiring dengan bertambahkan eksperimen sosial dan pengalaman (outside in). Cara Jay menangani klien yang kurang percaya diri tidak hanya dengan mengajak mereka untuk melakukan hal yang mereka takutkan itu, tapi juga memberikan informasi dan cara pandang lain untuk mereka melihat kejadian yang tidak menyenangkan i

Berhubungan dengan poin di atas, cara kita menginterpretasikan suatu kejadian menjadi kunci penting juga untuk meningkatkan kepercayaan diri kita.

The way I help twentysomethings gain confidence is by sending them back to work or back to their relationships with some better information. I teach them about how they can have more mastery over their emotions so they can hang around long enough to have more mastery experiences. And I help them have more mastery experiences so they can feel less anxious. And I talk to them about what real confidence really is.

Pengalaman Baca The Defining Decade

Remember: Whatever it is you want to change about yourself, now is the easiest time to change it.
One of the key messages of this book is that doing something later is not necessarily the same as doing something better.

Terus terang saya harus bilang saya SANGAT BERUNTUNG menemukan buku ini di usia saya yang sekarang (walaupun sudah tidak bisa dibilang muda dan saya sedang menuju ke quarter life crisis yang sebenarnya, setidaknya saya masih berada di usia 20-an dan bisa paham betul konteks yang dibicarakan oleh Jay dalam buku ini).

Akhirnya, The Defining Decade adalah buku yang sangat bagus untuk dibaca oleh pembaca muda usia 20-an. Buku ini banyak memberikan “tamparaan halus” buat saya, untuk belajar lebih mindful di usia 20-an, mengambil keputusan dan risiko dengan penuh kesadaran dan mulai berurusan dengan hal-hal yang sering kita hindari sebagai orang muda.

0 Comment

Post your comment here