PUBLISHED ON SAT MAR 19 2022

Ulasan Buku Think Again: Pentingnya Mengubah Pola Pikir secara Berkala

Ulasan Buku Think Again: Pentingnya Mengubah Pola Pikir secara Berkala

Think Again jadi buku pertama yang saya baca di bulan Maret 2022. Ditulis oleh Adam Grant, buku ini terbit tahun kemarin namun dalam beberapa bulan buku ini menuai banyak kritik positif dan pujian dari orang-orang banyak. Rasanya semua orang membicarakan buku ini, membuat saya akhirnya membaca buku ini.

Secara garis besar, Adam Grant menegaskan pentingnya untuk kita terus memperbarui (upgrade) cara berpikir dan opini-opini kita. Orang-orang cenderung memuji mereka yang berpegang teguh pada pola pikir dan pendapat mereka. Hal itu memang bagus, bila dunia ini berada dalam keadaan stagnan dan ekuilibrium. Masalahnya, dunia bergerak dengan dinamis, terus berubah dari waktu ke waktu sehingga perlu bagi kita untuk terus meng*-upgrade* pemikirian kita.

Most of us take pride in our knowledge and expertise, and in staying true to our beliefs and opinions. This makes sense in a stable worlds, where we get rewarded for having conviction in our ideas. The problem is that we live in a rapidly changing world, where we need to spend much time rethinking as we do thinking.

Empat Mode Pola Pikir Manusia

Secara umum, cara manusia berpikir dibagi menjadi tiga kategori:

  • Mode Pengkotbah (Preacher) : Mode dimana kita ‘berkotbah’ bahwa opini-opini dan kepercayaan kita adalah yang paling sempurna, yang paling benar dan tidak selayaknya dipertanyakan. Kita sering ‘mengkhotbahi’ atau meyakini diri sendiri atau bahkan orang lain bahwa opini kita memang sudah yang paling benar.
  • Mode Jaksa (Prosecutor): Mode dimana kita menyerang orang-orang yang mempertanyakan pola pikir dan opini kita. Kita menyerang dengan melihat cacat pikir yang orang lain utarakan, dan menjadikannya senjata untuk menyerang dan memproteksi opini kita.
  • Mode Politisi (Politician): Mode dimana kita menyenangkan orang yang sependapat dengan kita. Seperti politisi yang membuat kampanye untuk orang-orang yang sepihak dengan mereka. Mode ini membuat kita mengabaikan orang-orang yang memiliki perbedaan pendapat dengan kita.

Ketiga mode ini menghalangi kita untuk berpikir ulang terhadap apa yang kita percayai selama ini. Padahal, kunci dari growth mindset adalah kemampuan untuk berpikir ulang. Kemampuan kita untuk mengubah pola pikir kita yang sudah usang dan menggantinya dengan yang lebih relevan dengan zaman sekarang.

Untuk mengatasi hal tersebut, kita butuh untuk mengadopsi mode keempat, yaitu mode ilmuwan (scientist). Mode ini adalah ketika kita memiliki mindset untuk mencari tahu fakta dan kebenaran. Dalam mode ini, alih-alih membuat opini dan kepercayaan kita sebagai hal yang paling benar, kita membuat hipotesis akan opini kita dan melihat apakah opini kita terbukti benar atau tidak.

Dengan menggunakan mode ini, kita dituntut untuk menjadi lebih terbuka akan hal-hal baru, mencari alasan kenapa kita salah dalam mengadopsi pola pikir atau kenapa hal-hal yang kita percayai selama ini ternyata salah dan tidak lagi relevan. Kita harus terus merevisi diri dan cara pikir kita terus menerus, karena manusia sejatinya adalah mahluk pembelajar seumur hidup.

Kenapa Kita Sulit Mengubah Pola Pikir Kita?

Kenapa kita sangat sulit merevisi pola pikir kita? Setidaknya ada dua alasan: yang pertama adalah ego. Untuk mengubah pola pikir dan terus merevisi diri, diperlukan kerendahan hati dan juga kepercayaan diri dalam kadar yang cukup (confidence humility). Masalahnya, ego jadi penghalang untuk kita. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan melepaskan opini dari identitas diri kita.

Seharusnya siapa diri kita tidak ditentukan dari opini-opini atau prinsip hidup kita; karena hal tersebut bisa saja berubah seiring berjalannya waktu. Identitas diri seharusnya dikaitkan dengan apa yang kita value dalam hidup: kebenaran, kebaikan atau keamanan dalam hidup.

Most of us are accustomed to defining ourselves in terms of our beliefs, ideas and ideologies. This can become a problem when it prevents us from changing our minds as the world changes and knowledge evolves.
Every time we encounter new information, we have a choice. We can attach our opinions to our identities and stand our ground in the stubbornness of preaching and prosecuting. Or we can operate more like scientists, defining ourselves as people committed to the pursuit of truth

Hal kedua yang menjadi penghalang adalah karena kita sudah terbiasa dan diajarkan bahwa berpegang teguh pada pendirian, opini atau pola pikir kita adalah hal yang bagus dan patut untuk dipuji. Hal ini memang bagus bila kita hidup di dunia yang statis dan stagnan. Masalahnya, dunia terus berputar dan bergerak secara dinamis sehingga kita perlu untuk merevisi cara pikir yang sudah usang dan tidak lagi relevan.

Arrogance leaves us blind to our weaknesses. Humility is ta reflective lens: it helps us see them clearly. Confident humility is a corrective lens: it enables us to overcome those weaknesses.

Mengadopsi pola pikir ilmuwan dapat membantu kita untuk menerapkan konsep berpikir ulang dalam hidup kita. Dengan melepaskan opini dari identitas kita dan berpikir seperti ilmuwan yang mencari fakta dan kebenaran akan membuat kita lebih terbuka pada pemikiran baru. Bukan saja itu, kita malah akan merasa joy of being wrong (senang kita kita salah), karena artinya kita mempelajari sesuatu yang baru.

Overconfidence Cycle dan Confident Humility

Dalam buku Adam Grant sempat membahas efek Dunning-Krugger yang mengatakan bahwa orang-orang yang tidak begitu cerdas cenderung berpikir bahwa mereka adalah ahli (expert) dalam bidang tersebut. Ini mengingatkan saya dengan pepatah padi yang semakin berisi akan semakin menunduk. Rupanya, dengan tidak berpikir ulang tentang pola pikir, kita akan dengan mudah masuk ke dalam siklus overconfidence, yang akhirnya berakhir pada efek Dunnig-Krugger; kita merasa bahwa kita adalah orang yang paling cerdas di dunia!

Siklus overconfidence adalah siklus dimana seseorang merasa bangga akan pola pikirnya sehingga menimbulkan arogansi. Arogansi ini akan menimbulkan bias dalam pola pikir kita. Dengan bias ini kita berusaha memvalidasi atau mencari alasan bahwa argumen kita selalu benar. Validasi ini membuat kita menjadi arogan, dan begitu seterusnya.

Dalam kata lain, kebanggaan tanpa meragukan pendapat kita akan menumbulkan arogansi, lalu bias dan akhirnya kita berusaha memvalidasi semua pendapat dan kepercayaan kita.

Selalu Tanyakan “Bagaimana” daripada “Mengapa”

Semua dari kita sangat berpotensi untuk masuk ke dalam lingkaran setan tersebut. Salah satu hal praktis yang bisa kita lakukan untuk mencegah kita menjadi arogan adalah dengan terus mempertanyakan mengapa untuk setiap ide, pemahaman atau bahkan kepercayaan.

Tips ini cukup sering saya lakukan untuk terus mengingatkan saya bahwa saya bukan orang yang paling cerdas. Dalam mempelajari sesuatu, saya selalu mengetes pemahaman saya dengan menanyakan ‘bagaimana sesuatu tersebut bekerja?’ kalau saya masih memiliki keraguan dalam menjawab pertanyaan tersebut—artinya bagus! Artinya saya masih mau membuka diri untuk terus belajar dan terus menggali informasi.

Dalam berdebat juga, penting untuk menanyakan “bagaimana” dibanding “mengapa”. Menanyakan mengapa (misal: “mengapa kamu berpikir demikian? mengapa ide A menurutmu lebih baik”) kepada ide seseorang cenderung membuat seseorang masuk ke mode pengkhotbah dan jaksa, dengan mudah mengabaikan pendapat lawannya. Untuk itu, tanyakan bagaimana suatu ide bekerja. Menanyakan “mengapa” akan menimbulkan keraguan pada ide kita sendiri. Keraguanlah yang merupakan gerbang kepada berpikir terbuka dan growth mindset.

Selain itu, penting juga untuk menerapkan confident humility. Confident humility adalah dimana kita tetap percaya akan kemampuan kita, namun kita tetap sadar bahwa kita bisa saja salah dan perlu berpikir kembali tentang metodologi pekerjaan kita, pola pikir kita dan apa yang kita percayai. Dengan mengadopsi konsep ini, kita dapat menjadi percaya diri namun tetap memiliki growth mindset dan menghindarkan kita dari sindrop penipu (impostor syndrome)—mindset yang banyak mengganggu orang-orang di zaman sekarang.

Mendengar dengan Empati

Seringkali dalam mengajak seseorang untuk berpikir kembali tentang ide dan kepercayaan mereka, kita menembakkan ratusan alasan logis untuk orang tersebut mengubah pikirannya. Walaupun semua alasan itu masuk akal, lawan bicara kita cenderung tidak akan mendengar pendapat kita. Karena, rupanya, untuk mengajak orang lain berpikir kembali dan berpikir secara terbuka, kemampuan mendengarkan lebih penting dibanding kemampuan untuk beralasan dan berlogika.

Mendengar dengan empati artinya kita mendengarkan apa yang mereka percayai, kekhawatiran mereka dan membantu mereka untuk menemukan alasan supaya mereka mengubah pikirannya. Jadi, bukannya memberikan alasan mengapa mereka harus berubah, seharusnya kita membantu mereka menemukan alasan mengapa mereka harus berubah.

Salah satu contoh konkret yang dibawakan dalam buku adalah cara kita untuk membujuk orang yang tidak mau menerima vaksin untuk mengubah pikiran mereka. Dibanding memberikan ribuan alasan bahwa vaksin itu baik untuk tubuh, lebih baik kita mendengarkan apa yang mereka percayai, bukti apa yang bisa membuat mereka membuka pikirannya, dan membiarkan mereka untuk memikirkan kembali kepercayaan mereka. Mendengar dengan empati rupanya menjadi kunci untuk kita membuat orang lain berpikir secara terbuka.

Pengalaman Baca Think Again

Secara keseluruhan, buku ini sangat menarik dan memberikan pemahaman baru untuk saya. Banyak studi kasus yang dibawakan Adam Grant dalam buku yang membuat saya sadar pentingnya untuk berpikir terbuka dan memiliki growth mindset. Contohnya adalah keengganan BlackBerry untuk beradaptasi dan memilih teguh pada desainnya yang tidak lagi relevan pada tahun 2010-an, atau betapa banyak orang yang memiliki miskonsepsi terhadap passion—terminologi yang rupanya bisa mencegah kita untuk berpikir secara terbuka bila digunakan dengan cara yang tidak benar.

Membaca buku Think Again membuat saya berpikir kembali dan mengevaluasi diri, apakah saya sudah berpikir secara terbuka dan memiliki growth mindset atau belum. Penting bagi kita untuk melakukan regular checkup untuk mengecek kondisi mindset kita dengan menanyakan bagaimana ide-ide kita bekerja.

Memiliki confident humility merupakan kuncian paling esensial untuk setiap individu dalam mengembangkan pikirannya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadopsi mode ilmuwan yang selalu lapar dan haus akan fakta dan kebenaran, serta tidak menjadikan opini dan kepercayaannya sebagai bagian dari identitas mereka.

Saya sangat menyarankan buku ini untuk dibaca oleh semua orang, karena kita, tidak peduli status atau pekerjaan kita atau hal-hal lain, pada hakikatnya adalah makhluk pembelajar. Kita sebagai manusia seharusnya terus belajar seumur hidup kita.