PUBLISHED ON WED OCT 20 2021

23 Oktober: Hari Raya Les Misérables

23 Oktober: Hari Raya Les Misérables

Pada 23 Oktober 2020, saya secara tidak sengaja menemukan film ini dan menontonnya sampai habis. Alasannya mungkin sederhana, meskipun saya tidak begitu ingat jelas kronologinya, tapi yang pasti karena Hugh Jackman memainkan peran penting dalam film tersebut. Dan alhasil, film yang menyita waktu saya sebanyak 2,5 jam membuat saya terkagum-kagum dan bahkan tidak bisa berbicara sepatah katapun. Film ini berhasil membawa gelombang kesedihan dalam beberapa jam saja. Hal ini membuat saya tidak ragu untuk menobatkan film ini sebagai film terbaik yang saya tonton tahun 2020.

Sewaktu memasuki bulan Oktober tahun ini, sangat teringat oleh saya bahwa tepat setahun yang lalu, saya benar-benar menikmati film ini. Saya juga sempat berencana untuk menonton adaptasi Les Misérables versi BBC dalam bentuk serial TV. Jadi tepat setelah saya menonton film Les Misérables, pada tanggal yang sama, saya menonton Les Misérables kembali, namun kali ini saya menonton versi adaptasi BBC dalam bentuk serial tv yang memiliki 6 episode.

Harus saya akui Les Misérables memberikan pengalaman yang begitu personal dan berharga untuk saya. Saya pun merasakan bahwa baik film dan buku literaturnya banyak mengubah aspek dalam hidup terutama pandangan saya tentang kesejahteraan sosial, belas kasihan bahkan sejarah Revolusi Prancis (yang menjadi latar waktu cerita ini). Bahkan, Les Misérables adalah alasan yang membuat membaca buku-buku klasik dan fiksi sejarah tahun ini.

Karena sebegitu besarnya impak yang diberikan oleh Les Misérables kepada saya, secara personal saya menandai tanggal 23 Oktober sebagai hari spesial. Hari Raya Les Misérables.

“Here is the thing about equality; everyone’s equal when they’re dead.” - Les Misérables (2012)


Penderitaan Rakyat Prancis

Les Misérables bila diterjemahkan ke dalam bahasa inggris kira-kira menjadi “The Wretched Ones” atau “The Miserables Ones”. Ke dalam Bahasa Indonesia, judul ini diterjemahkan menjadi “Yang Malang”. Judul tersebut memang mendeskripsikan sebagian besar dari buku dan film: pendetitaan, kemalangan dan ketidakadilan yang dialami masyarakat Prancis pasca-Revolusi Prancis.

Dimulai pada tahun 1812, 26 tahun setelah dimulainya Revolusi Prancis, Les Misérables sendiri bercerita tentang seorang budak bernama Jean Valjean yang telah dipenjara selama 19 tahun karena ketahuan mencuri roti untuk keponakannya yang sudah sekarat. Ketika dilepaskan, Jean Valjean pergi ke kota untuk mencari penginapan dan pekerjaan, namun semua orang menolaknya karena dia adalah mantan narapidana. Sampai seorang uskup menerima Jean Valjean untuk menginap di gerejanya.

Namun, Jean Valjean malah kabur dan mencuri barang-barang yang ada di gereja tersebut. Tidak lama kemudian, Jean tertangkap oleh polisi dan dibawa kepada uskup tersebut. Alih-alih menghukum Jean, sang uskup malah memberi Jean emas dan perak yang ada di gereja tersebut. Rupanya, sang uskup berpesan kepada Jean untuk menggunakan barang tersebut dengan bijak dan dia harus menjadi orang yang baik hati dan jujur. Momen itulah yang mengubah Jean Valjean yang tadinya seorang penjahat menjadi orang yang baik hati.

Namun, rupanya Jean Valjean masih diburu oleh polisi yang bernama Javert. Bersamaan dengan pemburuan tersebut, rakyat Paris mulai bergejolak menyuarakan kebebasan. Di sinilah plot menjadi semakin kompleks.

Karya Epik Victor Hugo

Setelah saya menonton film Les Misérables untuk pertama kalinya pada Oktober 2020, bulan berikutnya saya mencoba untuk membaca buku dengan judul yang sama untuk pertama kalinya. Les Misérables menjadi karya klasik pertama yang saya baca seumur hidup saya (bersama dengan Animal Farm karya George Orwell). Walaupun begitu, saya tidak berhaisl menyelesaikan buku tersebut karena halamannya yang sangat banyak dan Victor Hugo banyak menggunakan narasi yang sangat deskriptif dan mendetail dan alurnya yang sangat lambat, membuat saya cepat bosan. Walaupun begitu, selama saya membaca 300 halaman Les Misérables, saya sudah merasakan bagaimana buku ini bukan hanya sekadar buku biasa, tapi merupakan sebuah karya literatur epik.

Baik buku, adaptasi film tahun 2012 dan adaptasi BBC tahun 2019 berhasil menggambarkan dengan sangat detail keberadaan masyarakat Prancis saat Revolusi Prancis sedang berlangsung. Bagaimana kelaparan, kemiskinan dan ketimpangan sosial yang ada pada saat itu membuat saya sangat miris hati. Betapa rakyat Prancis berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan, walaupun hal tersebut harus dibayar dengan nyawa dan pertumpahan darah yang sadis.

The blood of the martyrs will water the meadows of France! - Do You Hear the People Sing (Les Misérables)

Pesan Hugo dalam Karakter-Karakternya yang Kuat

Sebenarnya buku ini tidak hanya berpusat pada perjuangan rakyat Prancis, terutama Paris sebagai latar utama pada buku, namun Les Misérables berbicara lebih daripada itu. Victor Hugo juga berbicara tentang cinta, belas kasihan, kemampuan merasa dan kebaikan yang dimiliki sebagai seorang manusia. Poin-poin ini benar-benar digambarkan dengan detail pada setiap karakter-karakternya.

Javert, seorang polisi penjara yang menahan dan mengawasi Valjean, bersikeras untuk menemukan Valjean ketika dia bebas. Dari karakter Javert ini, Hugo mendeskripsikan seorang manusia yang memandang sesuatu hanya berdasarkan hitam dan putih, benar atau salah. Kalau tidak benar, maka salah, begitu sebaliknya. Javert memandang semua kejahatan adalah salah dan orang yang melakukan kejahatan, tidak peduli seberapa kecilpun itu, harus duhukum. Tanpa meliht motif di baliknya. Lewat karakter Javert, Hugo berpesan bahwa tidak semua hal harus dipandang sebagai hitam dan putih, kadang-kadang ada hal yang terlalu abu-abu untuk dipandang sebagai benar atau salah semata-mata.

"A thief does no steal because he is poor and desperate, he steals because he has a criminal mentality. Because he is degenerate. Because he is, to put it simply, wicked." - Javert, Les Miserables (2019)

Lewat Jean Valjean, Hugo berpesan bahwa manusia bisa berubah dari jahat menjadi baik. Buat saya sendiri, Valjean ini adalah karakter yang “too good to be true” atau terlalu sempurna. Namun, itulah kenapa saya menyukai karakter ini. Valjean digambarkan oleh Hugo sebagai seseorang yang sangat murah hati, dermawan dan mudah untuk memaafkan musuh. Sewaktu Valjean harus berhadapan dengan musuh bebuyutannya, Javert, dan memiliki kesemoatan untuk membunuhnya, Valjean memilih untuk melepaskan Javert dan melewatkan kesempatan tersebut. Perubahan karakter Valjean ini memang diceritakan sangat drastis terutama saat pertemuannya dengan sang Uskup setelah dia dinyatakan bebas sebagai seornang tahanan.

Karakter lain yang memberikan kesan mendalam untuk saya adalah Fantine dan Eponin. Kedua karakter ini emang tidak memainkan peran mayor dalam film, namun sama-sama memberikan makna yang berarti untuk penontonnya. Fanitine yang merupakan korban dari pola pikir dan cara pandang masyarakat yang masih sangat konservatif.

Nilai agama yang terlalu kental pada masyarakat Prancis waktu itu membuat Fantine, yang ketahuan memiliki anak haram, disudutkan habis-habisan dan tidak diperbolehkan bekerja dimanapun. Akibatnya, Fantine sendiri harus sangat menderita berjuang untuk membiayai putrinya. Penderitaan Fantine ini sangat menyedihkan hati, baik Lily Collins dan Anne Hathaway sangat piawai dalam memainkan peran Fantine. Yang membuat saya dibuat sangat sedih lewat karakter ini adalah sampai akhir hidupnya, Fantine harus menderita dan tidak bisa bertemu dengan putrinya sendiri.

Karakter terakhir yang sangat saya suka adalah Eponin. Adaptasi film tahun 2012 dan BBC tahun 2019 merepresentasikan karakter ini dengan cara yang berbeda. Pada film musikalnya, Eponin digambarkan sebagai gadis yang baik dan menyimpan perasaannya dalam diam kepada Marius. Sementara adaptasi BBC lebih menggambarkan sisi licik Eponin yang menyukai Marius. Namun, kedua adaptasi tersebut menceritakan hal yang sama: pengorbanan

Eponin yang rela mencintai Marius namun pria tersebut mencintai gadis lain. Saya sangat suka bagaimana Eponin, yang dibesarkan dari keluarga miskin di Paris, rela membantu Marius untuk menemukan gadis yang disukainya dan bahkan memberikan nyawanya sendiri. Dari sini, Hugo menceritakan pengorbanan itu sendiri.

Pengalaman Baca Les Misérables

Walaupun saya sudah menonton kedua adaptasi Les Misérables, saya masih kesulitan membaca buku yang berjudul sama, karena bukunya sangat tebal ditambah ukuran font-nya yang kecil. Namun, sejauh saya membaca buku tersebut, memang Les Misérables tidak berbicara kebahagiaan--bahkan tidak sama sekali. Tiga ratus halaman yang sudah saya baca berbicara kepedihan yang dialami Valjean dan Fantine, khususnya dalam perjuangan Fantine dalam membiayai putrinya, Cosette. Karena adaptasi Les Misérables ini memberikan dampak yang sangat signifikan untuk saya, saya berencana untuk terus membaca buku yang tebalnya hampir 1500 halaman tersebut.

Sebenarnya tidak perlu membaca buku yang tebal tersebut untuk merasakan kepedihan dalam cerita Les Misérables. Saya pikir kedua adaptasi Les Misérables tersebut sudah cukup memberikan saya pemahaman mengenai cerita. Kedua-duanya sama-sama bagus. Adaptasi film musikal 2012 berhasil menyampaikan kesedihan dan kepedihan cerita lewat nyanyian dan musik-musiknya. Sementara itu, adaptasi BBC tahun 2019 sangat kuat pada plot dan detail-detail yang dimasukkan ke dalam cerita. Namun, singkatnya, kedua adaptasi yang saya tonton tersebut sama-sama bagus.

Saya sangat menyarankan Les Misérables untuk ditonton atau dibaca karena Les Misérables

digadang-gadang sebagai karya literatur terbaik sepanjang masa. Les Misérables bercerita tentang kesedihan rakyat Prancis yang malang di tengah Revolusi Prancis, namun selain itu, Les Misérables juga bercerita nilai-nilai dasar yang seharusnya dimiliki kita sebagai manusia: kebaikan hati, sifat pemaaf, perjuangan, empati dan sifat yang tidak mementingkan diri sendiri. Nilai-nilai tersebut, dan nilai-nilai lain yang tidak diseburkan, sangat jelas digambarkan lewat penokohan karakter yang kuat.

0 Comment

Post your comment here