PUBLISHED ON SUN DEC 31 2023

365 Hari Belajar Stoikisme lewat Membaca The Daily Stoic

365 Hari Belajar Stoikisme lewat Membaca The Daily Stoic

Saya mulai mengikuti stoikisme di tahun 2020, waktu pandemi mengurung saya (dan semua orang di seluruh dunia) di rumah. Waktu tersebut memaksa saya untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk perkuliahan (fakultas saya berkuliah dulu benar benar sangat sibuk, sering dibilang sebagai “negara sendiri” di UI). Berhenti sejenak, dan mulai berpikir apakah yang saya lakukan selama ini benar-benar penting untuk saya. Saya mulai menjalani hidup yang lebih slow, dan bahkan saya mulai melepaskan ambisi-ambisi saya dulu (yang bahkan kalau saya ingat-ingat sangat konyol sekali).

Saya sendiri bisa dibilang masih pemula dalam stoikisme. Waktu saya lihat buku ini didiskon di Kindle Daily Deals US (dengan harga 2 dollar US saja!) tentu saya langsung garap buku ini 😆 Apalagi kalau penulisnya Ryan Holiday. Bahkan, saya sampai beli buku versi hardcover nya juga 😅.

Buku ini memiliki konsep seperti renungan harian. Holiday dan Hanselman menyisipkan pembahasan stoikisme dan cara implementasinya setiap hari. Buku ini bisa dibaca sesuai dengan timeline, ataupun tidak (untuk kasus saya, saya membacanya setiap hari). Bacaan per harinya pun sangat singkat, hanya sekitar satu-dua halaman (atau paling panjang 3 halaman) dan bisa dibaca dalam waktu kurang dari 15 menit.

Alhasil, di awal 2023 kemarin saya memulai kebiasaan membaca buku ini setiap hari dan saya ingin bagikan apa yang saya pelajari selama perjalanan membaca buku ini.


Dikotomi Kendali

*If we can focus on making clear what parts of our day are within our control and what parts are not, we will not only be happier, we will have a distinct advantage over other people who fail to realize they are fighting an unwinnable battle. - The Daily Stoic, January 1

Salah stau topik yang sering diangkat di buku ini adalah segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sebenarnya adalah netral, tidak baik dan tidak buruk. Opini kitalah yang mengategorikan apakah peristiwa ini baik atau buruk untuk kita. Oleh karena itu, melihat sesuatu seperti apa adanya dan belajar memilah mana yang bisa kita kontrol dan mana yang tidak, itulah kunci kebahagiaan.

Saya sendiri tahu ini sulit untuk dilakukan (untuk kasus saya, yang notabene memiliki sumbu kesabaran yang sangat amat pendek, ini terlebih sulit untuk dilakukan). Contoh yang sering saya alami adalah, sebagai seorang yang sering commute dari satu tempat ke tempat lain, saya seringkali suka jengkel ketika dapat bus atau kereta yang penuh. Rasanya mau terikak, “duh orang-orang mau pergi ke mana sih?!” Tapi sebenarnya kejadian itu bukannya baik atau buruk. It just is. Tinggal bagaimana saya yang menilai peristiwa yang terjadi. Ketika saya tahu fakta ini, walaupun rasa capek dan jengkel tidak hilang, setidaknya saya bisa tetap tenang dan meredam kejengkelan saya.

Intinya, sering sekali kita tidak bisa mengontrol apa yang terjadi dalam hidup kita. Tapi setidaknya kita bisa mengontrol how we respond apapun yang terjadi dalam hidup kita.

Amor Fati: Gratitude and Happiness

Accept what happened and change your wish that it had not happened. Stoicism calls this the “art of acquiescence”—to accept rather than fight every little thing … To wish for what has happened to happen is a clever way to avoid disappointment because nothing is contrary to your desires. But to actually feel gratitude for what happens? To love it? That’s a recipe for happiness and joy. - The Daily Stoic, November 1

Banyak orang yang berpikir, “Kalau saya dapat A, saya akan bahagia!” Dan saya termasuk kategori yang seperti ini. Selama ini, pemikiran ini justru membuat saya pribadi tidak enjoy dengan apa yang saya lakukan sehari-hari. Saya ingat sekali selalu bilang “This month is soo dull because nothing great happens”. Rasanya untuk kita bahagia, harus ada sesuatu yang spesial yang terjadi dulu.

Nah, lewat buku ini, saya sadar betul bahwa, happiness can be found everywhere and anywhere. If only we remembers to pause and notice them. Atau kata lainnya adalah: gratitude. Misalkan saya terjebak macet, tiba-tiba lagu kesukaan saya diputar. Hal ini memang kecil, tapi saya notice dan akhirnya yang tadinya jengkel menjadi agak lega.

Intinya adalah jangan lupa untuk bersyukur, setidaknya kita me-notice hal-hal kecil yang baik yang terjadi di sekitar kita. Ini membantu saya untuk tetap bahagia walaupun hari-hari yang saya jalani terkesan menjenuhkan dan monoton.



Trust, But Verify

We lose very little by taking a beat to consider our own thoughts. Is this really so bad? What do I really know about this person? Why do I have such strong feelings here? Is anxiety really adding much to the situation? What’s so special about __________? By asking these questions—by putting our impressions to the test as Epictetus recommends—we’re less likely to be carried away by them or make a move on a mistaken or biased one. We’re still free to use our instincts, but we should always, as the Russian proverb says, “trust, but verify.” - The Daily Stoic, April 5
To be rational today, we have to do just three things: First, we must look inward. Next, we must examine ourselves critically. Finally, we must make our own decisions—uninhibited by biases or popular notions. - The Daily Stoic, April 22

Kita sering sekali kewalahan sendiri ketika berurusan dengan emosi. Misalkan kita jengkel terhadap seseorang, atau ketika tidak sabar menunggu di barian antrean. Stoikisme mengajarkan kita untuk mengambil jeda sejenak ketika emosi negatif (sebenarnya emosi sifatnya netral, tidak baik atau buruk, kita yang memberi penilaian terhadap emosi tersebut). Alih-alih menghindar dari emosi tersebut dengan berbagai macam distraksi (scrolling media sosial contohnya) atau merespons emosi tersebut dengan tindakan yang tidak sesuai (misalkan marah meledak-ledak ketika emosi marah muncul), stoikisme mengajarkan kita untuk mengambil jeda, tidak merespons perasaan tersebut.

Malahan, kita diajak untuk mendekai emosi tersebut dan menganalisis, apa yang sebenarnya kita rasakan. Untuk melakukan hal ini sangat tidak mudah, memang, kunci utama nya adalah self-awareness. Ketika kita sadar sepunuhnya akan apa yang kita rasakan dan pikirkan, melakukan hal ini menjadi lebih mudah.



Memento Mori:

Ini poin yang saya baru sadari akhir-akhir ini karena section untuk bulan Desember di buku ini banyak mengangkat tema-tema memento mori. Setiap hari saya mulai terpikir, “kok orang orang sibuk sekali ngerjain A, B, C, membangun kekayaan dan kehormatan, respect dari orang lain, padahal akhirnya we’re all gonna be forgotten after we die.

Pas sekali kemarin saya baru membaca buku Meditations dan di dalam buku itu Marcus Aurelius menulis ini:



Lucilla buried Verus, then Lucilla was buried. Secunda buried Maximus, then Secunda next. So with Epitynchanus and Diotimus, Antoninus and Faustina. The same story always. Celer saw Hadrian to his grave, then went to his own grave. Where are they now, those sharp minds, those prophets or prigs? Certainly Charax, Demetrius, Eudaemon, and others like them were sharp minds. But all creatures of a day, long dead. Some not remembered even briefly, some turned into legend, and some now vanishing even from legend. - Meditations by Marcus Aurelius, Book 8

Memang berbicara kematian membuat perasaan tidak enak muncul. Saya sendiri kalau lagi overthinking-in ini, rasa cemas nya sangat ada sekali. Tapi stoikisme melihat kematian sebagai sebuah hal yang naluriah yang terjadi. Semua mahluk hidup lahir dan pada akhirnya mati. That’s just the way nature works.

Memento Mori ini belum serta-merta membuat saya menjadi “bertindak seolah-olah hari ini adalah hari terakhir saya maka dari itu saya harus melakukan hal-hal yang berguna untuk saya.” Sepertinya belum sampai ke situ 😅 Tapi setidaknya ini membuat saya sadar bahwa manusia adalah mahluk yang mortal, artinya we both share the same ending: death. Jangan gantungkan harga diri dan kebahagiaan kita terhadap hal-hal yang tidak memberi keuntungan bagi kita seperti uang, pujian orang lain (applause) atau kedudukan kita. Hal tersebut tidak akan berguna pada akhirnya.


Prolog Menuju Stoikisme

Setelah satu tahun berpetualang dengan Daily Stoics, saya merasa buku ini bagus sekali untuk pembaca yang masih pemula soal Stoikisme (seperti saya). Setiap excerpt per hari nya, buku ini membahas kutipan filsuf-filsuf stoikisme dan break down kutipan tersebut ke dalam kehidupan nyata, sehingga kita bisa aplikasikan di kehidupan kita.

Tentu ini jadi salah satu pengalaman baca yang paling seru untuk saya. Dan harapannya tahun depan saya bisa mengulang perjalanan yang sama! 😆

0 Comment

Post your comment here