PUBLISHED ON SAT JUL 01 2023

No Hard Feelings: Emosi di Di Dunia Profesional

No Hard Feelings: Emosi di Di Dunia Profesional

Sering sekali kita mendengar kata-kata “Kalau udah di dunia kerja, ya jangan baper!” atau “Kalau kerja, ya kerja, gausah di bawa emosi”, atau kata kata serupa yang memiliki isi pesan yang sama: dalam bekerja, kita tidak boleh melibatkan perasaan kita. Anehnya, perasaan yang dimaksud di sini bukanlah semua jenis perasaan—tapi perasaan-perasaan negatif yang justru dilarang.

Kesal dengan kolega? Marah dengan si Pak Bos karena gaya micromanaging nya yang membuat kamu garuk-garuk kepala? Atau kesal dengan si A, B atau C karena selalui mengambil kredit pekerjaanmu atau selalu menyela setiap kali kamu berbicara? Apa yang akan kita lakukan biasanya? Simpan perasaan itu dan kubur dalam-dalam, lupakan. Nanti juga kembali normal lagi.

Bulan Mei kemarin saya habiskan untuk membaca buku ini. Sebenarnya buku ini bukan jadi wishlist utama saya, tapi ketika saya melihat buku ini didiskon dengan harga yang menggiurkan di Kindle Store, saya langsung membeli buku ini. Dan terlebih, topik yang dibawakan buku ini cukup menarik dan sangat relate dengan saya, yang merupakan seorang freshgraduate yang baru terjun ke dunia profesional.


Emosi di Dunia Pekerjaan

Liz dan Mollie, penulis buku ini, berangkat dari ide yang cukup simpel. Mereka bilang bahwa manusia itu sudah sepaket dengan emosi. Artinya, kita tidak akan bisa memisahkan diri kita dengan emosi kita, mau seberapa sulitnya kita mencoba. Mungkin kita bisa mengubur emosi-emosi yang kita rasakan (terutama saat bekerja), dan barangkali ini membantu dalam jangka pendek. Namun akibat dalam jangka panjang bisa jauh lebih destruktif daripada yang kita kira.

Tujuh Aturan Mengelola Emosi dalam Pekerjaan

Di dalam buku, Liz dan Mollie membagikan tujuh tips dan trik untuk mengelola emosi di dalam dunia profesional. Masing-masing poin akan dijabarkan ke dalam chapter.

Kurang lebih, inilah gambaran besar dari tujuh tips tersebut.


1.Be less passionate about your job

Pasang boundaries yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi

  • Izinkan diri kita untuk memiliki waktu tidak produktif seperti misalnya mengerjakan hobi, hangout dengan teman atau keluarga
  • Ketika menghadapi stress, reframe stress tersebut sebagai tantangan (challenge), bukan ancaman (threat)

2.Inspire Yourself

Alasan-alasan kita kehilangan motivasi saat bekerja:

  • Kita tidak punya kontrol penuh atas hidup dan pekerjaan kita
  • Tips: lakukan rutinitas kerja kita dengan cara yang berbeda, ini akan membangkitkan sense of control untuk hidup kita. Contohnya mengubah rute commuting dari rumah ke kantor
  • Kita menganggap pekerjaan kita tidak impactful dan punya tujuan yang berarti
  • Memahami tujuan pekerjaan kita dari skala yang lebih luas dapat memicu produktivitas kita
  • Kita berhenti melihat pekerjaan kita sebagai tempat untuk belajar
  • Tips: Lakukan side project dimana kita bisa “get our hands dirty” untuk melakukan sesuatu yang baru (faktanya ini yang saya sering lakukan 😁)
  • Kita tidak suka dengan kolega kita

3.Emotion is part of Equation

  • Emosi adalah bagian dari equation untuk membuat keputusan yang baik
  • Emosi bukanlah sesuatu yang mistis, emosi muncul berdasarkan pengalaman kita, expertise dan kemampuan menyerap informasi. Emosi dapat digunakan untuk memprioritaskan pilihan
  • Pengambilan keputusan yang baik adalah ketika kita bisa memiliah emosi relevan dan emosi irrelevan
  • Emosi relevan: emosi yang berkaitan langsung dengan pilihan yang akan diambil. Biasanya emosi
  • Emosi irrelevan: emosi yang tiak berkaitan langsung dengan pilihan yang diambil, tapi ada dan melekat dengan alasan yang terdengar masuk akal.
  • Biasanya emosi irrelevan akan membuat kita merasa lebih baik dalam jangka pendek, bila kita memilih pilihan tersebut. Emosi relevan adalah kebalikannya
  • Rule of thumb: ketika mengambil keputusan, beri label akan emosi yang muncul, apakah relevan atau irrelevan.

4.Psychological Safety first

  • Psychological safety adalah keadaan dimana setiap member team mengemukakan pendapat tanpa malu atau takut judge member lain

5.Your feelings aren’t facts

6.Emotional Culture Cascades from You

  • Emotional Culture cascades from youEmosi bersifat menular, seperti gelombang air. artinya mood orang lain bisa terpengaruh dari cara kita mengekspresikan diri
  • Membangun kebiasaan senyum dapat membuat mood orang lain, secara sadar tidak sadar, menjadi lebih baik

7.Be selective vulnerable

Motivasi dalam Bekerja

  • Gain exelency menjadi motivator terbesar dibanding uang
  • We tend to care to something in which we put efforts, this is called the IKEA effect
If you want to care more about something, put time and effort into it. This is called the IKEA effect: people who put together IKEA furniture are willing to pay more for their own self-constructed furniture than for identical preassembled furniture. They value their self-constructed furniture more because it reminds them of their competence.

Section ini sangat menarik untuk saya sendiri, karena ini cukup relatable 😅 Sebagai seorang freshgrad yang baru terjun ke dunia kerja selama hampir setahun, saya pun sudah merasakan naik turunnya motivasi dalam bekerja. Meskipun apa yang saya kerjakan align dengan apa yang saya suka, demotivasi itu tetap ada.

Tapi yang membuat saya excited adalah setiap weekend saya mengerjakan project-project pribadi yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan (dan blog ini adalah salah satunya! 😁)

Dengan cara ini, setidaknya untuk saya sendiri, saya bisa mengelola motivasi dalam bekerja, plus juga mengasah skill saya dalam bekerja, yang justru saya dapatkan ketika mengerjakan project personal.


Emosi Relevan dan Irelevan

And it turns out that excellence is a bigger motivator than even money

Terus terang ini adalah section favorit saya, ketika saya sampai di chapter Emotion is The Part of The Equation.

Informasi tentang emosi relevan dan irelevan yang dibawakan Liz dan Mollie rasanya sangat relatable dengan saya, atau bahkan semua orang. Pernah merasa sangat bimbang dalam mengambil keputuan dari beberapa pilihan? Itu yang sering saya rasakan, bingung mau memilih pilihan yang mana, sampai akhirnya tidak mengambil keputusan apapun.

Langkah konkret yang saya dan kita bisa lakukan adalah memberi label emosi yang kita rasakan saat mempertimbangkan beberapa pilihan, apakah mereka irrelevan atau relevan.

Teknik “time travelling” yang dikemukakan oleh Ethan Kross dalam bukunya Chatter juga dibahas di buku ini. Basically teknik ini adalah mencoba untuk berpikir, apa yang akan kita rasakan di masa depan (bisa besok, atau bulan depan, atau tahun depan) ketika kita mengambil keputusan tersebut.


Meregulasi Emosi

Ada satu section di bagian akhir dimana Liz dan Mollie menekankan pentingnya meregulasi emosi di dunia kerja.


The ability to regulate your emotions can be a life- (and job) saver. You can manage which emotions you experience, when you experience them, and how you react to the

Ketika bekerja, ada banyak emosi yang bisa kita rasakan, beberapa di antaranya bisa jadi positif atau bisa jadi negatif. Untuk itu, kemampuan untuk menjadi less sensitive bisa sangat membantu di dunia kerja. Kemampuan ini dinamakan sebagai emotional egility. Dan untukitu, kmampuan meregulasi emosi akan menjadi sangat penting.

Beberapa cara meregulasi emosi:


1.Reframe the situation

  • Otak an pikiran kita akan bekerja sesuai dengan bagaimana cara kita melihat suatu keadaan yang stressful
  • Ubah perspektif terhadap stress, daripada melihat stress sebagai threat, kita bisa melihatnya sebgai challenge dan kesempatan untuk berkembang

2.Emotional agility:

  • Notice perasaan perasaan sulit yang muncul dan beri label. Bisa dengan menanyakan diri sendiri, “Apa yang sedang kurasakan?” Semakin deskriptif semakin bagus.
The ability to describe complex feelings, to distinguish awesome from happy, content, or thrilled, is called emotional granularity. Emotional granularity is linked with better emotion regulation and a lower likelihood to become vindictive when stressed.
  • Beri label akan emosi apa yang kita ingin rasakan (kebutuhan / need)
  • Berputar di emosi negatif hanya akan membuat kita merasa semakin buruk
  • Tanyakan ke diri sendiri: “Apa yang aku ingin rasakan saat ini?”
  • Ekspresikan kebutuhan kita
  • Artikulasikan kebutuhan kita, bukan emosi negatif yang kita rasakan
  • Misal kita merasa gugup dan kita suah menentukan apa yang ingin kita rasakan (rileks), maka lakukan apa yang bisa membuat kita rileks, misalkan dengan mendengar musik favorit.

Pengalaman Baca No Hard Feelings

Buku ini sendiri banyak memberikan pemahaman baru soal emosi dalam pekerjaan kita, soal mengelola emosi saat mengambil keputusan atau cara mengutarakan perasaan ke kolega kita dengan cara profesional.

Saya sendiri baru sadar bahwa setiap emosi memang seharusnya diekspresikan tidak terkecuali untuk emosi negatif, seperti marah atau irritated. Hany saja, emosi tersebut harus diekspresikan dengan cara yang tepat dan benar sehingga kita bisa menjadi profesional tanpa harus mematikan emosi, yang jadi elemen dasar yang membuat kita manusia.

Pada akhirnya Liz dan Mollie menngingatkan saya bahwa dalam bekerja, kita tidak bisa menjadi robot yang bekerja tanpa perasaan sama sekali. Perasaan dan emosi itu ada untuk memberi kita sinyal dan tugas kita adalah me-notice perasaan tersebut, memvalidasi dan mengekspresikannya dengan cara yang benar.

0 Comment

Post your comment here