Masalah kepercayaan diri rasanya dialami oleh semua orang, apalagi saya sendiri. Sejak kecil saya selalu menghindari atensi publik—sesimpel berbicara di depan kelas. Buat saya sendiri, masalah ini sudah saya bawa dari kecil dan belum terselesaikan sampai saat saya menulis artikel blog ini 😅
Masalah krisis kepercayaan diri ini bisa berakibat sangat fatal bila tidak diatasi, setidaknya itu yang saya alami sampai saat ini. Karena sering meragukan diri sendiri, banyak kesempatan yang hilang. Beberapa orang mungkin mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain hanya karena mereka pikir skill atau knowledge yang mereka punya tidak sekompeten dengan lawan bicara mereka, misalnya.
Saya sendiri masih suka berpikir bahwa kepercayaan diri adalah semacam innate talent, kemampuan yang dimiliki beberapa orang tertentu untuk terlihat pede dengan diri mereka sendiri. Rasanya kepercayaan diri hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, yang membuat mereka menjadi populer, disukai banyak orang, dan memenuhi standar “sukses” menurut masyarakat.
Makanya, waktu saya lihat buku On Confidence ini lagi diskon di Kindle US di awal tahun ini, saya langsung beli tanpa pikir panjang. Saya harus tahu apa sih sebenarnya definisi percaya diri itu, dan bagaimana kita bisa memiliki rasa secure dan confidence kepada diri sendiri.
Confidence is a skill, not a gift from the gods. And it is a skill founded on a set of ideas about the world and our natural place within it.
Pada Dasarnya, Semua Orang Itu adalah Idiot
Salah satu alasan kenapa kita tidak percaya diri adalah karena kita terlalu berpegah teguh kepada harga diri kita, sehingga kita menjadi tidak nyaman ketika harga diri kita terancam. Misalkan, kita menghindari atensi publik — dengan berbicara di depan umum misalkan — hanya karena kita tidak mau terlihat bodoh di depan orang lain — dalam kata lain, harga diri kita terancam.
Rasanya terdengar sangat ekstrem ketika membaca kalimat ini. Kita terlalu memproteksi harga diri kita. Saya pun juga begitu waktu membaca bagian ini. Tapi kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Kita menghindari hal-hal yang membuat kita tidak percaya diri (misalkan berbicara dengan orang baru, melakukan public speaking, mengerjakan tantangan baru) karena kita tidak ingin terlihat bodoh dan konyol di depan orang lain.
Padahal, ada satu fakta yang kita perlu ketahui: semua orang adalah idiot ketika mencoba sesuatu hal yang baru. No one has all figured out for the first time. Tidak ada manusia super yang mengetahui segalanya dalam sekali coba. Dan dalam beberapa percobaan pertama, pasti kita membuat kesalahan, dan kita akan terlihat bodoh dan idiot karena itu.
There is a type of underconfidence that arises specifically when we grow too attached to our own dignity and become anxious around any situation that might seem to threaten it. We hold back from challenges in which there is any risk of ending up looking ridiculous – which comprises, of course, almost all the most interesting situations.
The way to greater confidence is not to reassure ourselves of our own dignity; it’s to come to peace with our inevitable ridiculousness. We are idiots now, we have been idiots in the past, and we will be idiots again in the future – and that’s OK. There aren’t any other available options for human beings.
Jadi solusi untuk ini adalah untuk mencoba berdamai dengan fakta bahwa kita adalah idiot. Semua manusia adalah idiot. Dari zaman dulu, ketika manusia mencoba menemukan lampu atau telepon, atau bahkan menemukan api, pasti melakukan kesalahan (dan artinya adalah, mereka idiot). Kita pun begitu. Semua orang begitu. Dan itu adalah OK.
Tentang Impostor Syndrome
Terminologi ini rasanya sudah tidak asing di telinga kita semua. Tapi nyatanya, tidak banyak yang tahu kenapa kita mengalami impostor syndrome. Setidaknya, itu yang saya rasakan sampai saya membaca bab khusus yang membahas impostor syndrome ini.
Jadi, apa sih yang menyebabkan impostor syndrome ini? Dulu saya pikir karena saya tidak sekeren atau se-skilled orang lain. Tapi sebenarnya ini disebabkan bukan karena kekurangan yang kita miliki. Tapi karena ketidakmampuan kita untuk melihat kekurangan yang orang lain punya di balik “kekerenan” mereka.
The root cause of impostor syndrome is a hugely unhelpful picture of what people at the top of society are really like. We feel like impostors not because we are uniquely flawed, but because we can’t imagine how deeply flawed the elite must also be beneath a more or less polished surface.
Misalkan kita bekerja di dalam sebuah tim dan kita merasakan impostor syndrome karena kita melihat teman kerja kita jauh lebih berpengalaman dan terampil dibanding kita. Nah, rasa impostor syndrome itu sebenarnya bukan karena kita yang kurang terampil, atau kurang berpengalaman. Tapi justru karena kita tidak mampu melihat kekurangan orang lain, di balik performa dan keterampilan mereka yang kita anggap keren.
Kita juga tidak mampu melihat jejak yang mereka harus tempuh sejak mereka di posisi kita (sebagai pemula di suatu bidang) sampai ada di titik mereka sekarag. Kita hanya melihat mereka yang sudah ada di posisi yang jauh lebih di atas kita, dan kita secara tidak adil membandingkan diri kita dengan mereka.
Di dalam buku, trik untuk mengatasi impostor syndrome ini cukup simpel tapi bisa jadi sulit, adalah dengan memiliki mindset bahwa semua orang menganggap diri mereka adalah impostor, bahwa kita semua menganggap diri kita tidak layak terhadap orang lain. Itu adalah hal normal.
Selain itu penting juga untuk melihat orang lain sebagai seorang manusia biasa yang memiliki kekurangan, sama seperti kita. Dalam konteks profesional atau keterampilan, mungkin ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa seperti apa orang tersebut ketika mereka masih di tahap pemula seperti kita. Ini bisa membantu kita untuk melihat orang lain sebagai manusia biasa, bukan seperti manusia separuh dewa yang “kasta” nya lebih tinggi dibanding kita.
Making a leap of faith around what other people are like helps to humanise the world. Whenever we encounter a stranger, we are not really encountering such a person; we are encountering someone who is in basic ways very much like us, despite surface evidence to the contrary. Therefore, nothing fundamental stands between us and the possibility of responsibility, success and fulfilment.
Tentang Kegagalan dan Kepercayaan Diri
Kalau ada salah satu hal yang bisa mengacaukan kepercayaan diri, itu adalah kegagalan. Kegagalan bisa membuat kita mempertanyakan kapabilitas kita, pengalaman yang kita selama ini punya, dan bahkan kemampuan kita untuk mencoba lagi sehingga kita memilih untuk menyerah.
Sebenarnya, kita menyerah bukan karena kita kehilangan kepercayaan diri atau karena kita kurang terampil dalam suatu bidang. Tapi lebih karena ekspektasi kita. Kita berekspektasi bahwa hal akan berjalan dengan lancar kedepannya, tanpa memperhatikan masalah yang mungkin akan muncul.
Hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri terutama saat mengalami kegagalan adalah dengan melihat dunia dari kacamata yang lebih realistis, bahwa tidak ada hal yang bisa berjalan dengan mulus. Kita bisa melakukan ini dengan menonton film dokumenter, membaca buku biografi tooh-tokoh tertentu atau bahkan film atau novel yang mengangkat tema perjuangan orang dalam mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Dengan begitu, kita melihat dunia dari kacamata yang lebih realistis, dan membuat kita sadar bahwa menjadi percaya diri bukan artinya kita tidak akan menemukan permasalahan dalam mencapai tujuan dan cita-cita, melainkan kita percaya bahwa diri kita akan mamopu untuk menghadapi masalah yang ada di depan.
Confidence isn’t the belief that we won’t meet obstacles: it is the recognition that difficulties are an inescapable part of all worthwhile contributions. We need to ensure we have plenty of narratives to hand that normalise the role of pain, anxiety and disappointment in even the best and most successful lives.
Tentang Kepercayaan Diri
:epercayaan diri sangat penting untuk dimiliki oleh kita. Dia bisa membantu kita untuk berkembang sebagai manusia yang seutuhnya, dalam hal karrier profesional, personal atau bahkan relasi dengan orang lain.
Sayangnya dalam beberapa kultur, kepercayaan diri ini disalahartikan dengan arogan. Kita ditekankan untuk menjadi rendah hati (humble) yang mana secara tidak langsung membuat kita berpikir bahwa ketika kita percaya diri artinya kita tidak rendah hati. Ketika kita percaya diri, kita dianggap berpikir bahwa kita sudah baik, sudah oke. Saya rasa di budaya kita pun rasanya banyak yang mengadopsi pemahaman ini.
Tidak ada yang salah dengan kerendahan hati, malah itu bagus. Tapi rasanya beberapa kultur terlalu menekankan nilai ini, sehingga kita lupa terhadap potensi dan rasa aman untuk diri sendiri. Padahal sebenarnya percaya diri tidak sama dengan arogansi.
Akhir kata, buku On Confidence banyak memberikan insight-insight baru soal kepercayaan diri dan bagaimana mindset yang benar soal hal ini. Ketika kita memiliki pemahaman dan mindset yang benar, harapannya kepercayaan diri tersebut bisa kita kembangkan sebagai sebuah skill, bukan innate talent.
0 Comment