PUBLISHED ON FRI OCT 22 2021

Ulasan Buku Educated : Esensi Penting Pendidikan lewat Cerita Tara Westover

Ulasan Buku Educated : Esensi Penting Pendidikan lewat Cerita Tara Westover

Bila saya ditanya, buku apa yang paling berpengaruh dan memberikan kesan mendalam sepanjang umur hidup saya, Educated bakal jadi salah satu jawaban saya. Betapa tidak, buku ini adalah buku nonfiksi pertama yang saya baca. Di bulan Januari 2020, sewaktu saya berusia 19 tahun, saya memutuskan untuk membaca buku ini dalam versi Bahasa Inggrisnya. Alasannya sederhana; karena buku ini direkomendasikan oleh Bill Gates. Bahkan beliau sangat mengapresiasi buku ini sampai-sampai beliau mewawancara Tara Westover, penulis buku Educated yang diterjemahkan menjadi Terdidik dalam Bahasa Indonesia.

Sewaktu saya selesai dan menutup buku ini, saya benar-benar dibuat terpukau. Buku ini secara umum menjelaskan esensi sesungguhnya pendidikan itu sendiri: untuk membebaskan manusia. Lewat buku ini, Tara menceritakan perjuangannya mengejar pendidikan, dari seorang gadis yang tidak pernah duduk di bangku sekolah sampai mendapat gelar doktor.


Berasal dari Keluarga Mormon Garis Keras

Tara berasal dari keluarga yang menganut agama Mormon dan tinggal di sebuah lembah gunung di Idaho. Walaupun begitu, Tara dengan tegas menulis di halaman pertama bukunya bahwa buku ini tidak akan membahas agama sedikitpun.

Sedari kecil, Tara hidup di keluarga yang menarik diri dari kepemerintahan Amerika. Tara dan 5 abang serta satu adik perempuannya tidak diperbolehkan untuk memiliki akte lahir dan tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah publik. Alasannya karena Ayah Tara, pihak yang memegang kendali penuh di keluarganya, percaya bahwa pemerintah merupakan antek-antek Illuminati. Secara tidak langsung, Ayah Tara dan kefanatikannya terhadap agama yang dia peganglah yang menjadi penghalang anak-anaknya untuk terkoneksi dengan dunia luar, bahkan untuk mengenyam pendidikan.

Kefanatikan sang Ayah memang sangat parah, sebagai contoh, sang Ayah percaya bahwa kiamat akan terjadi setelah tanggal 31 Desember 1999, karena agamanya yang mengatakan demikian dan fakta bahwa komputer pada zaman tersebut tidak bisa menghitung tanggal setelah tanggal tersebut. Contoh lain adalah sang Ayah melarang istri dan anak-anaknya untuk makan susu dan keju, serta produk-produk makanan turunan susu seperti mentega, hanya karena kitab Mormon berkata seperti ini:

“Butter and honey shall he eat, that he may know to refuse the evil, and choose the good.”

Yang kemudian diinterpretasi oleh sang ayah bahwa salah satu di antaranya adalah jahat dan tidak boleh dimakan. Sehingga Tara dan keluarganya hanya mengonsumsi madu dan tidak pernah mengonsumsi susu dan produk turunannya.

Berangkat dari motivasi ingin mengembangkan kemampuan bernyanyinya, Tara membuat sebauh tekad untuk mengejar pendidikan sampai ke bangku kuliah. Namun, perjuangannya bukanlah hal yang mudah, karena keluarganya sendirilah yang menjadi penghalang utamanya. Bahkan, Tara sampai dicap “dirasuki setan” oleh keluarganya karena memilih untuk mengejar pendidikan.

“positive liberty is self-mastery—the rule of the self, by the self. To have positive liberty, he explained, is to take control of one’s own mind; to be liberated from irrational fears and beliefs, from addictions, superstitions and all other forms of self-coercion.”

Toksisitas Keluarga Tara

Tara sendiri menjelaskan bahwa buku ini sebenarnya merupakan memoir kisah hidupnya tentang bagaimana dia keluar dari lingkungannya yang toksik, dalam hal ini adalah keluarganya sendiri, yang selama ini menghambatnya untuk bertumbuh.

Keluarga Tara yang sangat toksik membuat saya pun sewaktu membaca buku ini sangat berempati dengan keadaan Tara waktu itu. Mungkin ini sebabnya buku ini sangat menyentuh hati orang banyak.

Saya bisa bilang akar permasalahan dalam keluarga Tara terletak pada sang Ayah itu sendiri. Keluarga Tara memiliki budaya patriarki, dimana kekuasaan dipegang penuh oleh laki-laki dan perempuan dianggap derajatnya lebih rendah. Tara, yang saat itu masih seorang gadis, tidak bisa berbuat apa-apa karena kendali berada di tangan ayahnya. Begitu juga dengan sang Ibu. Tidak hanya itu, Tara pun sering mendapati dirinya tak berdaya menghadapi abangnya yang sering memperlakukannya semena-mena. Abangnya bisa menjadi sangat penyayang hari ini namun di hari berikutnya berubah menjadi monster dan memukulinya sampai babak belur. Dia harus menyembunyikan perasaan dan menyangkal apa yang yang terjadi padanya saat itu.

Sang Ayah juga memaksa ibu Tara untuk menjadi seorang bidan yang bertugas untuk melayani orang-orang di perkumpulan agamanya. Masalahnya, sang Ibu tidak pernah belajar medis sebelumnya dan tidak memiliki lisensi resmi untuk menjadi seorang bidan.

Saya tidak bisa membayangkan betapa berbahayanya bila seseorang tanpa ilmu yang memupuni dan kemampuan yang sesuai untuk melakukan praktik-praktik yang krusial, apalagi yang berhubungan dengan nyawa. Ibu Tara melakukan hal-hal yang sangat berbahaya bagi orang lain seperti membantu orang untuk melahirkan anak. Dengan pengetahuan yang terbatas dan kemampuan yang tidak memadai, hal tersebut tentunya sangat berbahaya dan bisa jadi mengancam nyawa untuk orang lain.

Hal ini dikarenakan kepercayaaan Ayah tara yang sangat gila. Dia percaya bahwa seseorang tidak boleh pergi ke dokter karena, sama seperti pemerintah, dokter melawan hukum Tuhan sebagai pemberi kesembuhan. Kesembuhan hanya datangnya dari Tuhan, jadi jika seseorang sakit, orang tersebut seharusnya berdoa meminta mujizat dan belas kasihan untuk disembuhkan. Bila dia tidak kunjung sembuh, konklusinya cuma satu: Tuhan tidak berkehendak dia untuk sembuh,

Salah satu contoh gila adalah ketika abang Tara, Shawn, hampir terbakar hangus karena salah menggunakan bensin. Atau Tara yang kakinya tertusuk oleh sampah logam. Yang ayahnya lakukan hanya menunggu mujizat Tuhan untuk terjadi dan menyembuhkan anak-anaknya tanpa melakukan hal apapun.

Toksisitas sang Ayah ini berakibat fatal untuk Tara dan saudaranya yang lain. Sehingga, hal ini membuat Tara mengalami trauma tidak hanya dari segi fisik namun juga dari segi psikis.

“You can love someone and still choose to say goodbye to them,” she says now. “You can miss a person every day, and still be glad that they are no longer in your life.”

Tara menjelaskan semuanya dengan narasi yang sangat mendetail namun juga mengalir. Semua kejadian yang terjadi di masa lalunya digambarkan dengan sangat detail dan spesifik. Inilah kenapa banyak pembaca yang dapat merasakan ragam emosi saat membaca buku ini, termasuk saya sendiri. Dan untuk saya sendiri, hal ini menjadi satu poin plus untuk buku ini.

“positive liberty is self-mastery—the rule of the self, by the self. To have positive liberty, he explained, is to take control of one’s own mind;”

Refleksi: Edukasi Membebaskan Manusia

Saat saya membaca buku ini, saya sadar bahwa esensi utama dari pendidikan adalah untuk membebaskan manusia, dari cara pandang dan wawasan berpikir. Edukasi adalah jendela dunia, yang mana edukasi berperan penting dalam memperluas wawasan sehingga manusia dapat melihat perbedaan, mengenali dan menerima perbedaan tersebut.

Namun, yang jadi masalah adalah Tara sendiri mengakui bahwa lewat buku ini dia bercerita bahwa betapa orang-orang berpikir pendidikan adalah hal normal dan biasa, padahal di luar sana masih banyak orang yang tidak mendapat kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan.

Pendidikan yang sudah kita anggap sebagai hal yang lumrah tersebut nyatanya masih belum bisa diakses oleh semua orang. Pandnagan ini membuat saya lebih mengapresiasi apa yang saya punya, privilise yang saya bisa rasakan dan menggunakannya untuk mengubah diri menjadi lebih baik lagi.

Keluarga Tara adalah contoh pihak yang tidak mendapat akses untuk pendidikan. Akhirnya, muncullah orang-orang yang terlalu radikal terhadap sesuatu, yang, sederhananya, disebabkan karena merea tidak memiliki akses yang semudah dengan yang kita miliki terhadap pendidikan Sewaktu saya selesai membaca buku ini, saya tersadar bahwa barangkali orang-orang radikal sebenarnya tidak terlahir sebagai orang yang radikal, seperti takdir, namun barangkali karena kurangnya akses mereka terhadap lingkungan luar dan akses pendidikan yang masih sangat terbatas.

Jadi itu adalah poin utama yang saya dapatkan dari buku ini: pendidikan membebaskan manusia. Betapa banyak dari kita, termasuk saya sendiri, menempuh pendidikan hanya untuk tujuan yang materialistik semata seperti mendapat ijazah lalu bekerja dan menghasilkan uang, sementara kita melewatkan tujuan utama dari pendidikan itu sendiri: untuk membentuk dan mengembangkan pola pikir dan wawasan.

“Everything I had worked for, all my years of study, had been to purchase for myself this one privilege: to see and experience more truths than those given to me by my father, and to use those truths to construct my own mind. I had come to believe that the ability to evaluate many ideas, many histories, many points of view, was at the heart of what it means to self-create. If I yielded now, I would lose more than an argument. I would lose custody of my own mind. This was the price I was being asked to pay, I understood that now. What my father wanted to cast from me wasn’t a demon: it was me.”

Pengalaman Baca Educated

Educated memberikan kesan yang begitu mendalam ketika saya menutup buku ini. Tara sangat piawai dalam menceritakan setiap kejadian dalam hidupnya, dengan narasi yang mengalir dan deksripsi yang detail, membuat saya sebagai pembaca ikut merasakan, berempati dan bersimpati dengannya. Membaca buku ini seperti menonton film dikumenter Tara Westover itu sendiri.

Tidak hanya itu, buku ini membuat saya berefleksi terutama sebagai mahasiswa mengenai esensi utama pendidikan. Betapa pendidikan yang dianggap oleh kita adalah sebuah hal yang normal dan biasa, namun bagi sebagian orang pendidikan masih merupakan suatu hal yang sulit dijangkau dan merupakan privilise sendiri.

Dengan membaca buku ini saya tersadar bahwa tujuan manusia mengejar pendidikan setinggi-tingginya seharusnya bukanlah semata-mata demi mendapatkan pekerjaan atau uang (walaupun memiliki tujuan ini tidak sepenuhnya salah), namun untuk membentuk wawasan dan cara pikir kita sebagai manusia sehingga kita dapat mengenali dan menerima perbedaan-perbedaan yang ada di sekitar kita.

Buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh pembaca dari kalangan manapun. Kisah Tara Westover sangat beresonansi dan dan dapat mewakili kisah banyak orang. Saya sendiri sangat merekomendasikan buku ini. Walaupun begitu, sewaktu saya membaca buku ini dalam versi bahasa aslinya, Bahasa Inggris, saya mengalami banyak kesulitan dalam memahami buku ini karena struktur kalimat dan pemilihan katanya yang cukup kompleks. Namun, buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Terdidik sehingga buku ini dapat dinikmati oleh pembaca Indonesia dalam lingkupan yang lebih luas.

“An education is not so much about making a living as making a person.”

Need to read this: https://www.psychologytoday.com/intl/blog/millennial-media/201804/psychologists-take-tara-westovers-memoir-educated

0 Comment

Post your comment here