PUBLISHED ON WED MAY 04 2022

Ulasan Buku Peak : Rahasia Menuju Kemahiran

Ulasan Buku Peak : Rahasia Menuju Kemahiran

Pada bulan keempat tahun ini, saya memutuskan untuk membaca buku Peak yang ditulis oleh Anders Erisson dan Robert Pool. Buku ini menarik perhatian saya karena premis buku ini bisa dibilang cukup menjanjikan—rahasia apa saja yang dibutuhkan untuk kita menjadi mahir dalam keterampilan tertentu. Sedari dulu, saya selalu ingin menjadi mahir dalam keterampilan yang saya pelajari, seperti pemrograman web, digital art, atau kemampuan menulis. Sehingga, ketika tahun lalu buku ini masuk ke dalam jejeran diskon akhir tahun di Amazon Kindle US, saya langsung sambar buku ini. Tapi baru empat bulan setelahnya saya mulai baca buku ini.

Secara garis umum, Ericsson dan Pool mengupas habis apa saja yang dilakukan oleh para expert sehingga mereka menjadi sangat mahir dalam bidang yang mereka tekuni. Mereka sampai kepada kesimpulan bahwa untuk menjadi mahir dalam bidang apapun, dibutuhkan usaha bertahun-tahun lamanya. Hal ini sangat berkolerasi dengan buku yang saya baca pada awal tahun ini, So Good They Can’t Ignore You yang ditulis oleh Cal Newport. Baik Newport, Ericsson dan Pool sama-sama setuju bahwa untuk menjadi sangat mahir dalam suatu bidang, dibutuhkan deliberate practice dan immediate feedback. Yang mana, kedua poin ini dibahas secara mendalam dan terperinci pada buku ini.

So here we have purposeful practice in a nutshell: Get outside your comfort zone but do it in a focused way, with clear goals, a plan for reaching those goals, and a way to monitor your progress. Oh, and figure out a way to maintain your motivation.

Deliberate Practice sebagai Kunci Menuju Kemahiran

Banyak orang yang hanya ingin menjadi sekadar bisa atau “good enough” dalam beberapa keterampilan tertentu. Meskipun begitu, ini sebenarnya tidak salah. Tidak ada yang salah bila kita hanya ingin menjadi sekadar bisa dalam sesuatu. Namun, perlu kita ketahui bahwa ada pilihan lain bila kita ingin menjadi lebih baik dalam keterampilan tertentu. Satu-satunya aturan generik untuk menjadi mahir adalah dengan menerapkan latihan dengan tujuan yang spesifik (purposeful practice yang lebih dikenal sebagai deliberate practice).

Secara umum, deliberate practice adalah sistem latihan yang memiliki tujuan yang jelas dan sistematis. Deliberate practice mengharuskan kita untuk mengidentifikasi di kelemahan kita dalam suatu bidang tertentu dan berlatih untuk memoles kelemahan tersebut. Selain itu, kita juga harus melakukan sesuatu yang di luar zona nyaman kita. Tidak terlalu jauh dari zona nyaman kita, tapi tepat berada di luar zona nyaman kita.

Ketika saya membaca bagian yang menjelaskan deliberate practice ini, saya menjadi sangat tersadarkan bahwa bila kita ingin menjadi sangat mahir di bidang yang kita inginkan, kita tidak bisa asal berlatih. Misalkan kita ambil contoh menyanyi. Penyanyi-penyanyi awam biasanya akan berlatih hanya untuk bersenang-senang, karena menyanyi adalah hobi mereka. Tapi untuk penyanyi profesional dan andal, mereka biasanya berlatih untuk tujuan tertentu, misalkan untuk memperbaiki kualitas suara mereka, untuk menyanyikan nada-nada tinggi, dan sebagainya. Jenis latihan yang seperti ini terkesan lebih membosankan dibandingkan asal berlatih. Tapi justru deliberate practice yang membosankan inilah yang membawa kita kepada kemahiran.

With deliberate practice, however, the goal is not just to reach your potential but to build it, to make things possible that were not possible before. This requires challenging homeostasis—getting out of your comfort zone—and forcing your brain or your body to adapt. But once you do this, learning is no longer just a way of fulfilling some genetic destiny; it becomes a way of taking control of your destiny and shaping your potential in ways that you choose.

Umpan balik sebagai bagian dalam deliberate practice, tapi bagaimana dengan orang seperti saya, yang mempelajari hampir semua kemampuan secara otodidak?

Konsep deliberate practice juga sempat disinggung dalam buku Cal Newport yang saya baca bulan Januari kemarin. Newport bahkan berargumen bahwa untuk menjadi mahir dalam suatu bidang diperlukan deliberate practice dan immediate feedback. Umpan balik secara otomatis biasanya bisa kita dapatkan lewat guru atau mentor.

Tapi, ada orang-orang, yang seperti saya, yang mempelajari banyak kemampuan secara otodidak. Dalam kasus saya sendiri, saya mempelajari hampir semua kemampuan sendiri—memprogram web, seni digital dengan Adobe Photoshop dan Illustrator, mengedit video atau bahkan menulis. Untuk orang-orang seperti saya, tentunya ini akan sulit. Tapi penulis buku ini memberikan satu alternatif yang sebenarnya sudah saya lakukan dari dulu, yaitu dengan melakukan metode ATM (amati, tiru, modifikasi).

Ericsson dan Pool menyarankan kita, bila kita tidak memliliki guru untuk mengajari kita, untuk meniru karya-karya dari orang-orang yang cukup andal di bidang yang ingin kita pelajari. Hal ini bisa menjadi titik awal untuk mengembangkan kemampuan kita.

Mitos 10.000 Jam

Rasanya sudah jadi ungkapan yang sangat terkenal bahwa untuk menjadi andal dalam sesuatu, kita harus meluangkan waktu selaam 10.000 jam. Artinya, bila saya mencoba untuk menjadi seberbakat Taylor Swift dalam menulis lagu, saya perlu sekitar 417 hari atau sekitar 1,14 tahun (dengan catatan saya berlatih bermain gitar dan piano selama 1,14 tahun tanpa berhenti, nonstop, yang mana rasanya sangat tidak mungkin). Beberapa orang menemukan fakta ini cukup menakutkan. Artinya mereka tidak bisa menjadi mahir hanya dalam setahun dua tahun saja.

Tapi sebenarnya aturan ini tidak sepenuhnya benar dan malah bisa menyesatkan orang-orang. Aturan ini membuat sebagian orang akan berpikir dan menghitung bahwa dalam 10.000 jam mereka sudah pasti akan menjadi mahir dalam suatu bidang. Saya sendiri banyak menemukan orang-orang yang berekspektasi untuk menjadi mahir dengan waktu 10.000 jam hanya untuk menjadi kecewa ketika mereka sudah mempelajari bidang tersebut selama puluhan tahun tapi masih belum mencapai kemahiran. Rasanya 10.000 jam menjadi satuan universal untuk mencapai kemahiran. Aturan ini terkesan terlalu mengeneralisasi semua bidang keahlian.

Padahal, setiap bidang memiliki level intensitas latihan yang berbeda-beda, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menjadi mahir dalam setiap bidang bervariasi, tidak mentok hanya di 10.000 jam saja. Selain itu, seperti yang sudah saya tulis di atas, jenis latihan yang penting untuk menjadi mahir adalah deliberate practice dan bukan asal berlatih. Sehingga, aturan ini tidak lagi relevan di zaman sekarang. Namun, implikasi dari aturan ini memang ada benarnya, bahwa untuk menjadi mahir dalam sesuatu, dibutuhkan bertahun-tahun deliberate practice. Tidak ada jalan pintas.

Jadi, Apa Talenta dan Faktor Genetik Memengaruhi Jalan Kita Menuju Kemahiran?

Expert performers develop their extraordinary abilities through years and years of dedicated practice, improving step by step in a long, laborious process. There are no shortcuts. Various sorts of practice can be effective, but the most effective of all is deliberate practice.

Bagi saya sendiri, buku ini mengubah pandangan saya tentang talenta atau bakat dan kecerdasan. Saya, sama seperti kebanyakan orang, menganggap bahwa setiap dari kita memiliki talenta bawaan dari lahir dan tugas kitalah untuk terus mencari dan mengembangkan talenta tersebut. Sama seperti kecerdasan dari lahir, saya dulu percaya bahwa orang-orang yang menduduki peringkat satu di sekolah adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan dari lahir, dibuktikan dari nilai IQ mereka yang pasti lebih tinggi.

Pemahaman saya ini dibantah habis-habisan oleh penulis. Bahkan, Ericsson dan Pool menunjukkan bahwa kecerdasan dan talenta hanya berkontribusi dalam jumlah yang sangat sedikit untuk menjadikan seseorang sangat mahir di bidang tertentu.

Salah satu poin yang ditonjolkan oleh penulis tentang mengapa talenta tidak begitu berpengaruh untuk membuat kita menjadi mahir adalah karena otak kita, sama seperti otot, memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Artinya tidak ada sesuatu yang fixed atau mutlak dalam otak kita. Otak kita bisa terus berubah dan berkembang bila kita memberikan cukup latihan. Hal ini dibuktikan dengan riset yang meneliti bagian otak orang dewasa yang baru belajar instrumen musik sama dengan otak orang yang sudah belajar musik dari sejak kecil.

Brain’s structure and function are not fixed. They change in response to use. It is possible to shape the brain—your brain, my brain, anybody’s brain—in the ways that we desire through conscious, deliberate training.

Bab kedelapan pada buku menjelaskan dengan tuntas masalah talenta dan kecerdasan manusia. Dalam bab tersebut penulis menjelaskan suatu studi, dimana orang-orang yang mahir dalam bermain catur diukur kecerdasannya (IQ). Hal yang mengejutkan adalah ternyata tidak ada perbedaan IQ di antara para pemain catur yang andal tersebut. Namun, yang membuat saya lebih terkejut lagi adalah ketika studi tersebut membandingkan IQ pemain catur andal dengan pemain catur yang biasa-biasa saja. Hasilnya sama, tidak ada perbedaan IQ yang signifikan antara kedua golongan ini!

Rupanya untuk menjadi andal dalam hampir semua bidang, kecerdasan bukanlah hal yang paling berpengaruh, tapi sebenarnya adalah mental representation. Mental representation adalah bagaimana cara otak kita memproses informasi yang berkaitan dengan bidang yang kita tekuni. Mental representation ini yang membuat otak para pemain catur bisa menghapal posisi setiap biji catur, misalnya. Atau membuat tangan kita menjadi lebih lihai dalam bermain piano, membuat otak sebagian orang bisa menghapal ratusan digit angka, dan lain-lain.

What exactly is being changed in the brain with deliberate practice? The main thing that sets experts apart from the rest of us is that their years of practice have changed the neural circuitry in their brains to produce highly specialized mental representations, which in turn make possible the incredible memory, pattern recognition, problem solving, and other sorts of advanced abilities needed to excel in their particular specialties.

Mengatakan kecerdasan tidak memiliki pengaruh apa-apa dalam mencapai kemahiran. Kecerdasan memang berpengaruh, tapi studi dalam buku membuktikan bahwa kecerdasan hanya membantu banyak orang untuk mempelajari suatu keterampilan dalam fase awal (beginner). Selebihnya, deliberate practice yang membawa banyak orang tersebut menuju kemahiran. Misalkan, orang-orang yang memiliki kecerdasan visuospasial yang tinggi akan lebih mudah mempelajari catur pada fase awal dibandingkan teman-temannya, tapi setelah mereka meninggalkan fase awal dan masuk ke tahap menengah, deliberate practice dan berlatih secara soliter yang akan membuat seseorang menjadi mahir.

While people with certain innate characteristics—IQ, in the case of the chess study—may have an advantage when first learning a skill, that advantage gets smaller over time, and eventually the amount and the quality of practice take on a much larger role in determining how skilled a person becomes.

Setelah membaca bagian ini, saya teringat bagaimana saya selalu menganggap orang-orang yang juara kelas, atau bahkan angkatan, adalah orang-orang super (prodigies) dengan kecerdasan luar biasa sejak lahir. Saya, dan kebanyakan orang, meremehkan waktu yang mereka habiskan untuk berlatih dan belajar.

Rasanya kata-kata seperti matematika hanya bisa dipelajari oleh orang-orang pintar, dan mereka bukanlah saya adalah sebuah pernyataan yang keliru. Kita bisa mempelajari apapun bila kita ingin memberikan diri kita untuk berlatih, khususnya deliberate practice.

Sisi Gelap Mempercayai Talenta dan Orang-Orang Super

Selain membantah pengaruh talenta yang kuat untuk seseorang menjadi mahir, penulis juga mengingatkan saya tentang betapa bahayanya memiliki pola pikir seperti ini. Hal ini membuat kita berpikir bahwa setiap dari kita punya tujuan hidup yang akan terkabulkan dengan sendirinya ketika kita sudah menemukan talenta kita, atau dalam bahasa Inggrisnya, self-fulfilling prophecy. Kita jadi menganggap bahwa orang-orang yang tidak mempunyai talenta pada bidang musik, misalkan, tidak akan pernah bisa memainkan alat musik dengan baik. Sedihnya, saya pernah memiliki pola pikir seperti ini. Sehingga, orang-orang percaya bahwa mereka tidak memiliki talenta bernyanyi, sebagai contoh, dan ini membuat mereka tidak pernah bisa bernyanyi. Padahal, kebanyakan orang bisa bernyanyi dengan nada yang tepat tanpa membuat telinga pecah.

Contoh lain yang sangat menyedihkan adalah anak-anak yang tidak menunjukkan progres yang berarti dalam mempelajari sesuatu akan langsung dicap sebagai tidak memiliki talenta pada bidang tersebut, oleh guru atau orangtua. Sehingga, mereka tidak mendapat dukungan penuh untuk terus belajar kemampuan tersebut dan akhirnya berhenti. Padahal, seperti yang sudah saya tulis di bagian sebelumnya, talenta memang membantu kita mempelajari suatu kemampuan, tapi keahlian sendiri tidak ditentukan oleh talenta semata-mata.

Yang Kurang dari Buku

Saya sendiri butuh waktu sebulan penuh untuk menyelesaikan buku setebal 300 halaman ini. Sebenarnya buku ini bukan buku yang tebal, bahkan tipis, tapi cara pembawaan penulis di beberapa bagian terkesan membosankan buat saya dan terlalu diulang-ulang. Di beberapa bagian, penulis menjelaskan beberapa riset dengan sangat terperinci padahal sebenarnya bisa dijelaskan dalam dua atau tiga halaman saja.

Bagian terakhir dalam buku memiliki satu bab yang berjudul “What Should We Do Now?” bab yang saya nanti-nantikan sejak saya membaca bagian awal buku, berhadap penulis akan memberikan kiat-kiat generik untuk kita mengembangkan keahlian kita, dengan misalkan, bagaimana cara mengidentifikasi kelemahan kita atau bagaimana cara melakukan deliberate practice secara umum.

Tapi, malahan, penulis membahas lebih banyak tentang sistem pendidikan, bagaimana sistem pendidikan kita seharusnya menekankan keapada skill dan understanding daripada sekadar knowledge. Walaupun hal ini masih relevan dengan apa yang dibahas secara umum, tapi penjelasannya terlalu bertele-tele, bahkan sebenarnya bisa dijelaskan dalam dua halaman saja.

Namun, sebenarnya yang saya pandang aneh dalam buku ini adalah, Ericsson dan Pool hanya membahas riset yang mempelajari orang-orang sukses dan andal di bidangnya masing-masing, entah itu olahraga seperti hoki, catur, atau supir taksi London yang bisa mengingat peta kota tersebut dengan sangat terperinci. Artinya, penulis hanya membahas orang-orang ‘hebat’ tanpa banyak membahas orang-orang yang kemampuannya standar seperti saya dan barangkali pembaca artikel ini. Apa yang terjadi dengan orang yang sudah berlatih sekeras mungkin tapi tidak menunjukkan progresi yang berarti? Pertanyaan seperti ini yang kurang dibahas di dalam buku, sehingga membuat saya sebagai pembaca buku meragukan kredibilitas hasil paparan penulis tersebut.

Pengalaman Baca Buku Peak

Peak secara garis besar membuka pandangan saya bahwa talenta dan kecerdasan memang bisa membantu seseorang dalam mempelajari bidang baru, tapi untuk mengembangkan keahlian sampai menjadi mahir tetap dibutuhkan deliberate practice selama bertahun-tahun. Tidak ada jalan pintas untuk ini. Walaupun begitu, sebenarnya menjadi cukup baik sebenarnya tidak apa-apa, hanya saja kita perlu tahu bahwa pilihan untuk menjadi andal di bidang apapun tersedia untuk kita, asalkan kita mau untuk konsisten berlatih, yang mana jenis latihannya bisa menjadi menjemukan.

Buku ini cocok dibaca untuk semua orang, terutama untuk anak-anak muda yang ingin menjadi sangat baik di bidangnya, sampai-sampai orang lain tidak bisa meremehkannya. Atau dalam kata lain, untuk kamu yang ingin menjadi so good they can’t ignore you.

0 Comment

Post your comment here