Liburan akhir tahun 2023 kemarin saya hampir tidak punya rencana mau berlibur kemana. Biasanya setiap akhir tahun saya pergi ke kampung halaman di Samosir, tapi tahun kemarin tidak. Alhasil, ketika saya membuka-buka instagram, saya teringat dengan Jakarta Goodguide (disingkat JGG, dengan akun @jktgoodguide di Instagram) dengan konsep walking tour pay-as-you-wish yang cukup terkenal. Saya sendiri sudah follow akun tersebut sejak lama, namun tidak pernah kepikiran untuk melakukan walking tour sampai saat itu.
Jadi, ketika rute Old Town (Kota Tua) dibuka pada Jumat 29 Desember 2023, saya langsung daftar dan rute ini sekaligus menjadi rute pertama saya dengan JGG.
Dua setengah bulan setelahnya, saya sudah ikut sekitar lima rute dengan JGG, dan ini rute-rute yang saya ikuti:
- Old Town
- Museum Bank Indonesia
- Chinatown Glodok
- Pasar Baru
- Sunda Kelapa
Secara umum saya baru berkeliling di sekitar Jakarta Utara ke Pusat. Saya dari dulu suka sekali dengan vibes Jakut yang penuh dengan nuansa-nuansa historikal Belanda. Lewat tur-tur yang saya ikuti ini, saya jadi lebih mengapresiasi tempat-tempat ikonik Jakarta dan cerita hisitori di baliknya.
Tur ini sangat membantu saya untuk mengerti sejarah negara, karena sebagai orang berlatar belakang saintek dan sangat membenci pelajaran Sejarah waktu sekolah dulu, tur ini menunjukkan langsung bukti-bukti sejarah sehingga membuat peserta lebih mengerti perjalanan bangsa kita dari zaman penjajahan sampai sekarang.
Sekitaran Kota Tua: Dari Sunda Kelapa, Old Town, sampai Chinatown Glodok
Cikal Bakal Kota Jakarta
Saya sengaja memulai dan mengakhiri 5 tur saya dari titik awal sejarah negara, Kota Tua dan Sunda Kelapa. Rupanya bangsa Belanda bukanlah bangsa Eropa yang pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta (Batavia). Saat itu, Sunda Kelapa, yang masih bernama Kalapa, merupakan pelabuhan utama dari kerajaan Sunda Pula (penerus Kerajaan Tarumanegara).
Saat itu, Kerajaan Sunda sudah membuat perjanjian dengan Portugis untuk menjaga Sunda Kelapa dari lawan, yang merupakan Kerajaan Demak. Namun, perjanjian tersebut tidak terlaksana sehingga Demak, dibawha pimpinan Fatahillah berhasil merebut Kalapa. Di bawah kerajaan Demak, Kalapa berubah menjadi Jayakarta dan yang akan menjadi cikal bakal kota Jakarta.
Pembantaian Orang Cina
Singkat cerita orang Belanda datang di bawah kepemimpinan Cornelis de Houtman tahun 1596 dan pada tahun 1619, di bawah pimopinan JP Coen, Belanda berhasil merebut Sunda Kelapa, lalu dari situ mulai dibangunlah kota pusat. Jayakarta diubah menjadi Batavia (Stad Batavia).
JP Coen mulai membangun Batavia sebagai replika kota Amsterdam. Beberapa kanal dibangun dari muara Sunda Kelapa sampai ke kawasan Kota Tua. Dia juga membangun tembok besar yang mengelilingi Batavia (yang kemudian dihancurkan dan yang tersisa hanyalah tembok utara di sekitar Museum Bahari.
Lebih dari seartus tahun kemudian, ketika pembangunan wilayah Batavia berkembang semakin pesat, terjadi pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa di tahun 1740. Pembantaian ini dilkarenakan protes orang Tionghoa kepada pemerintah Belanda karena pajak yang tidak masuk akal, misal pajak untuk orang yang memiliki kuku panjang, atau bila laki-laki berambut panjang.
Pembantaian ini sangat masif, yang memakan korban sampai 10.000 orang Tionghoa. Hasil dari pembantaian ini, mayat-mayat orang Tionghoa dibuang ke sebuah rawa di bagian barat Batavia, yang kini menjadi Muara Angke (”angke” sendiri berarti merah dalam bahasa Tionghoa). Sebagian mayat Tionghoa ditumpuk di sebuat tempat, membentuk “gunung dalam sehari”, yang kini menjadi daerah Gunung Sahari.
Akhirnya sebagai pengampunan dari Belanda untuk orang Tionghoa yang memberontak, orang-orang Tionghoa ini diasingkan dari Batavia ke sebuah daerah yang kita kenal sebagai Glodok. Ini yang menjadi destinasi ketiga saya dalam seri walking tour ini. Lewat rute inilah saya banyak belajar sejarah-sejarah Tionghoa di sana. Seperti kuil-kuil tertua di Jakarta, Vihara Dharma Bhakti dan Toa Se Bio.
Melihat Sejarah Kondisi Finansial Negara
Masih di sekitaran Batavia, saya melanjutkan tur kedua saya ke Museum Bank Indonesia. Saya memilih rute ini karena letaknya yang sangat dekat dengan rute pertama saya, dan akses ytransportasi umumnya gampang sekali.
Museum Bank Indonesia adalah De Javasche Bank (DJB) dulunya, bank sentral dan sirkulasi yang digunakan oleh elit-elit Belanda untuk menyimpan uangnya. DJB sendiri dibangun tahun 1828. Banyak orang-orang Tionghoa yang dipekerjakan sebagai akuntan dan penghitung uang di sana. Namun, sebelum menjadi De Javasche Bank, bangunan tersebut dulunya adalah sebuah rumah sakit Belanda yang bernama Binnen Hospital.
Lewat tur ini, dijelaskan sejarah bagaimana BI menjadi bank sentral. Dulunya bank nasional pertama yang didirikan oleh Indonesia pasca-proklamasi adalah BNI, dan BI dulunya masih merupakan DJB. Tapi, alih-alih BNI yang dijadikan bank sentral, DJB-lah yang dipilih karena koneksi internasionalnya yang sangat luas. Kemudian DJB dinasionalisasi menjadi BI pada tanggal 1 Juli 1951, yang kemudian menjadi hari lahir BI sampai saat ini.
Museum BI adalah dulunya kantor pusat DJB, yang menjadi kantor pusat BI. Kemudian kantor pusat BI dipindah ke daerah M.H. Thamrin dan dijadikan museum oleh Presiden SBY pada tahun 2009.
Sebagai bank sentral, tugas BI salah satunya adalah mencetak uang. Jadi di dalam museum tersebut kita banyak mempelajari tentang kondisi finansial negara dan cetakan uang negara dari berbagai macam era.
Contohnya ketika pasca-proklamasi,tahun 1951, karena peredaran uang sudah terlalu banyak ditambah masa perang, pernah diberlakukan aturan Gunting Sjafruddin, dimana uang kertas pada zaman itu bisa digunting menjadi dua, dengan masing-masing separuh nilainya (Misal uang 100 ribu bisa digunting menjadi dua, dengan masing-masing potongan bernilai 50 ribu). Potongan uang tersebut nantinya bisa dipakai untuk membeli surat obligasi negara.
Yang menarik dan relatif baru saya ketahui adalah ketika negara kita sempat memberlakukan ORIDA (Oeang Republik Indonesia Daerah), dimana setiap provinsi diberikan otonomi untuk mencetak uangnya sendiri. Hal ini karena wilayah kedualatan Indonesia mengalami pengurangan saat itu, seperti Sumatera dan sebagaian wilayah Jawa), sehingga peredaran uang menjadi sulit. Di dalam museum tersebut kita dapat melihat uang-uang yang pernah diterbitkan oleh masing-masing daerah, seperti di Sumatera Utara, Yogyakarta, Aceh, dan beberapa daerah lain.
New Batavia: Ketika Pusat Batavia Mundur Ke Selatan
JP Coen merancang Batavia sebagai replika ibukota mereka, Amsterdam. Salah satu replika yang mereka coba adalah dengan membangun kanal-kanal di sekitar Batavia. Namun kesalahan mereka adalah bangsa kita berada di negara tropis, sehingga kanal-kanal tersebut menjadi sarang nyamuk. Akhirnya, wabah malaria merebak di kawasan Batavia utara.
Selain itu, Sunda Kelapa yang sudah menjadi pelabuhan internasional yang tersibuk di Nusantara akhirnya mengalami pendangkalan. Sehingga, kapal-kapal besar tidak bisa lagi masuk ke batavia lewat Sunda Kelapa (ini yang menjadikan Tanjung Priok dibangun sebagai alternatif Sunda Kelapa). Karena alasan ini, Belanda memperluas Batavia dan memindahkan pusat kota ke bagian selatan, yang menjadi kawasan-kawasan seperti Weltevreden, Noordwijk dan Rijswijk.
Orang-orang elite Belanda mulai pindah ke selatan. Sehingga, pada tahun 1820, dibangunlah sebuah pusat pembelanjaan khusus kaum-kaum elite, yaitu Pasar Baru (Passer Baroe menurut ejaan Belanda). Pasar ini dulunya diperuntukkan untuk orang-orang Belanda yang kaya dan tinggal di daerah Rijwijk (sekarang jadi Jalan Veteran).
Banyak penjual-penjual Tionghoa dan India yang memiliki toko di Pasar Baru, melihat pasar market yang cukup strategis untuk berdagang. Salah satu tokoh Tionghoa yang terkenal adalah Tio Tek Hong dengan Toko Serbaguna -nya yang berada di tengah-tengah Weltevreden. Tio Tek Hong adalah satu-satunya pengusaha Tionghoa yang sangat kaya, bahkan dijuluki sebagai “Sultan Pasar Baru”. Tokonya menjual barang-barang antik yang sangat sulit untuk dijual pada masanya, seperti piringan hitam dan toko produksi rekaman lagu. Ini menjadikan barang-barang yang ada di tokonya tidak bisa ditawar, karena kelangkaannya, hal yang sangat sulit untuk dilakukan pedagang pada masa itu.
Saya harus bilang rute Pasar Baru adalah rute terseru yang selama kunjungan ini, karena peserta tur bisa mengenal sejarah Pasar Baru ini sambil mencoba makanan yang dijajakan di sana. Beberapa rekomendasi jajanan di sana adalah Kue Cakue Ko Atek (yang saking ramainya, saya harus meninggalkan pesanan cakue saya sampai 1.5 jam dan kemudian baru bisa diambil!). Roti Bistro Pasar Baru juga jadi favorit saya, apalagi yang rasa cokelat. Teksturnya gurih dan cokelatnya melumer saat kita makan.
Di Pasar Baru juga cukup kental dengan kultur Tionghoa, dapat dilihat dari gerbang utara dan selatan Pasar Baru yang memiliki atap rumah bergaya Cina. Ada juga ada Klenteng Sin Tek Bio, yang merupakan klenteng tertua ketiga di Indonesia.
Walking Tour Selanjutnya
Lima walking tour yang saya tulis di bagian atas menjadi sebuah milestone untuk saya yang sudah berjelajah di daerah Jakarta Utara. Walaupun belum semua tempat saya kunjungi,
Untuk walking Tour berikutnya, saya tertarik untuk menjelajah kawasan Jakut yang lain, dan barangkali mundur ke selatan menuju pusat kota Jakarta, seperti Weltevreden atau Koningsplein.
0 Comment